LIMFADENITIS TB

LIMFADENITIS TB
Disusun untuk Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah Patofisiologi
Dosen Pengampu:  dr. Mustofa


















Disusun oleh:

Rafita Nur Afifah                             I1A015022
Yusuf Fahmi Jauhar Maknun         I1A015023
Sasmita Dwi Ramadhani                  I1A015055
Tri Kurniawati                                  I1A015058



KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT
PURWOKERTO
2016




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Limfadenitis adalah peradangan pada salah satu atau lebih kelenjar getah bening, yang biasanya menjadi bengkak dan lunak.
Limfadenitis Tuberkolosis salah satu yang menjadi masalah yang menonjol di Indonesia. Indonesia pada tahun 2009 menempati peringkat kelima negara dengan insiden TB tertinggi didunia. Bahkan Indonesia juga pernah menduduki peringkat ketiga sebagai negara dengan jumlah kasus terbanyak di dunia sebanyak 0,35-0,52 juta setelah India(1,6-2,4 juta), Cina (1,1-1,5 juta), Afrika Selatan (0,40-0,59), dan Nigeria (0,37-0,55) (WHO, 2010). Lebih dari 4000 orang meninggal perhari karena penyakit yang disebakan oleh TB di seluruh dunia. TB juga merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian pada anak di negara berkembang.
Selama beberapa abad tuberkolosis merupakan salah satu penyakit terparah pada manusia. dari semua penyakit infeksi, tuberkolosis masih merupakan penyebab kematian tersering. WHO memprediksi insiden penyakit tuberkolosis ini akan terus meningkat, dimana akan terdapat 12 juta kasaus baru dan 3 juta kematian akibat penyakit tuberkolosis setiap tahun. Tuberkolosis dapat melibatkan berbagai sistem organ di tubuh. Meskipun TB pulmoner adalah yang paling banyak. TB ekstrapulmoner juga merupakan salah satu masalah klinis yang penting. Istilah TB ekstrapulmoner digunakan pada tuberkolosis yang terjadi selain paru-paru. Limfadenitis TB lebih sering terjadi pada wanita daripada pria dengan perbandingan 1.2.1 (Dandapat,1990).
Tetap saja tuberkolosis (TB) masih menjadi masalah kesehatan global yang utama yang menjadi peringkat kedua penyebab kematian dari penyakit menular diseluruh dunia setelah HIV. Perkiraan terbaru adalah ada 9,0 juta kasus TB baru pada tahun 2013 lalu dan 1,5 juta kematian Tb.
Tingginya kasus TB di berbagai tempat diduga disebakan oleh berbagai hal. Salah satunya adalah diagnosis yang tidak tepat.  Diagnosa pasti ditegakkan dengan ditemukannya M. tuberculosis pada pemeriksaan sputum, bilasan lambung atau cairan dan biopsi jaringan tubuh lainnya.
Tuberkulosis adalah infeksi bakteri yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis yang paling sering menginfeksi paru-paru. Karakteristik pasien TB beragam dilihat dari usia, jenis kelamin. Klasifikasi penyakit TBdan klasifikasi TB luar paru berdasarkan organ yang terinfeksi.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa definisi limfadenitis?
2.      Epidemiologi dalam limfadenitis TB?
3.      Etiologi limfadenitis TB?
4.      Patofisiologi limfadenitis TB?
5.      Gejala Klinis limfadenitis TB?
6.      Pemeriksaan penunjangan pada  penyakit limfadenitis TB


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Limfadenitis
Patofisiologi limfadenitis Kelenjar getah bening (KGB) adalah bagian dari sistem pertahanan tubuh kita. Tubuh kita memiliki kurang lebih sekitar 600 kelenjar getah bening, namun hanya di daerah sub mandibular, ketiak atau lipat paha yang teraba normal pada orang sehat. Terbungkus kapsul fibrosa yang berisi kumpulan sel-sel pembentuk pertahanan tubuh dan merupakan tempat penyaringan antigen (protein asing) dari pembuluh-pembuluh getah bening yang melewatinya.
Pembuluh-pembuluh limfe akan mengalir ke kelenjar getah bening sehingga dari lokasi kelenjar getah bening akan diketahui aliran pembuluh limfe yang melewatinya. Oleh karena dilewati oleh aliran pembuluh getah bening yang dapat membawa antigen dan memiliki sel pertahanan tubuh maka apabila ada antigen yang menginfeksi maka kelenjar getah bening dapat menghasilkan sel-sel pertahanan tubuh yang lebih banyak untuk mengatasi antigen tersebut sehingga kelenjar getah bening membesar. Pembesaran kelenjar getah bening dapat berasal dari penambahan sel-sel pertahanan tubuh yang berasal dari kelenjar getah bening itu sendiri seperti limfosit, sel plasma, monosit dan histiosit atau karena datangnya sel-sel peradangan (neutrofil) untuk mengatasi infeksi di kelenjar getah bening (limfadenitis), infiltrasi sel-sel ganas atau timbunan dari penyakit metabolite macrophage (gaucher disease).
Dengan mengetahui lokasi pembesaran kelenjar getah bening maka kita dapat mengarahkan kepada lokasi kemungkinan terjadinya infeksi atau penyebab pembesaran kelenjar getah bening. Benjolan, bisa berupa tumor baik jinak atau ganas, bisa juga berupa pembesaran kelenjar getah bening. Kelenjar ini ada banyak sekali di tubuh kita, antara lain di daerah leher, ketiak, dalam rongga dada dan perut, di sepanjang tulang belakang kiri dan kanan sampai mata kaki. Kelenjar getah bening berfungsi sebagai penyaring bila ada infeksi lokal yang disebabkan bakteri atau virus. Jadi, fungsinya justru sebagai benteng pertahanan tubuh. Jika tidak terjadi infeksi, kemungkinan adalah tumor. Apalagi bila pembesaran kelenjar di daerah-daerah tersebut di atas, pertumbuhannya cepat dan mudah membesar. Bila sudah sebesar biji nangka, misalnya, bila ditekan tidak sakit, maka perlu diwaspadai. Jalan terbaik, adalah dilakukan biopsy di kelenjar tersebut. Diperiksa jenis sel-nya untuk memastikan apakah sekedar infeksi atau keganasan. Jika tumor dan ternyata ganas, pembesaran kelenjar akan cepat terjadi. Dalam sebulan, misalnya sudah membesar dan tak terasa sakit saat ditekan. Beda dengan yang disebabkan infeksi, umumnya tidak bertambah besar dan jika daerah di sekitar benjolan ditekan, terasa sakit.

B.     Epidemiologi
Selama beberapa abad tuberkulosis merupakan salah satu penyakit terparah pada manusia. Dari semua penyakit infeksi, tuberkulosis masih merupakan penyebab kematian tersering. WHO memprediksikan insidensi penyakit tuberkulosis ini akan terus meningkat, dimana akan terdapat 12 juta kasus baru dan 3 juta kematian akibat penyakit tuberkulosis setiap tahun. Sepertiga dari peningkatan jumlah kasus baru disebabkan oleh epidemi HIV, dimana tuberkulosis menyebabkan kematian pada satu orang dari tujuh orang yang menderita AIDS (Ioachim, 2009).
Diperkirakan terdapat 2 juta kematian akibat tuberkulosis pada tahun 2002. Jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat di  Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka mortaliti tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, dimana prevalensi HIV yang cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang muncul.
Tuberkulosis dapat melibatkan berbagai sistem organ di tubuh. Meskipun TB pulmoner adalah yang paling banyak, TB ekstrapulmoner juga merupakan salah satu masalah klinis yang penting. Istilah TB ekstrapulmoner digunakan pada tuberkulosis yang terjadi selain pada paru -paru. Berdasarkan epidemiologi TB ekstrapulmoner merupakan 15-20% dari semua kasus TB pada pasien HIV-negatif, dimana limfadenitis TB merupa kan bentuk terbanyak (35% dari semua TB ekstrapulmoner). Sedangkan pada pasien dengan HIV-positif TB ekstrapulmoner adalah lebih dari 50% kasus TB, dimana limfadenitis tetap yang terbanyak yaitu 35% dari TB ekstrapulmoner (Sharma, 2004).
Limfadenitis TB lebih sering terjadi pada wanita daripada pria dengan perbandingan 1,2 : 1. Berdasarkan penelitian terhadap data demografik 60 pasien limfadenitis TB didapat 41 orang wanita dan 19 orang pria dengan rentang umur 40,9 ± 16,9 (13 – 88) (Geldmacher, 2002). Penelitian lainnya terhadap 69 pasien limfadenitis TB didapat 48 orang wanita dan 21 orang pria dengan rentang umur 31,4 ± 13,1 (14 – 60) (Jniene, 2010).
Pada tahun 2004, WHO memperkirakan setiap tahunnya muncul 115 orang penderita tuberkulosis paru menular (BTA positif) pada setiap 100.000 penduduk. Saat ini Indonesia masih menduduki urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB setelah India dan China.

C.    Etiologi
Limfadenitis hampir selalu dihasilkan dari sebuah infeksi, yang kemungkinan disebabkan oleh bakteri, virus, protozoa, ricketsia, atau jamur. Ciri khasnya, infeksi tersebut menyebar menuju kelenjar getah bening dari infeksi kulit, telinga, hidung, atau mata atau dari beberapa infeksi seperti infectious mononucleosis, infeksi cytomegalovirus, infeksi streptococcal,tuberkulosis, atau sifilis. Infeksi tersebut bisa mempengaruhi kelenjar getah bening atau hanya pada salah satu daerah pada tubuh.

D.    Patofisiologi
Suatu cairan disebut getah bening bersirkulasi melalui pembuluh limfatik dan mmebawa limfosit (sel darah putih) mengelilingi tubuh. limfosit ini merupakan sel-sel dari system imun yang membantu tubuh melawan penyakit. Terdapat 2 tipe utama limfosit yaitu limfosit T dan limfosit B, karena cairan limfe tidak mengandung sel darah merah maka ia berwarna putih.
Pembuluh limfatik melalui kelenjar getah bening, kelenjar getah bening berisi sejumlah besar limfosit dan bertindak sebagai penyaring menangkap organisme yang menyebabkan infeksi seperti bakteri dan virus. Kelenjar getah bening cenderung bergerombol dalam suatu kelompok sebagai contoh tardapat sekelompok besar di ketiak, dileher dan lipat.pangkal paha.
Ketika suatu bagian tubuh terinfeksi atau bengkak, kelenjar getah bening terdekat sering membesar dan nyeri. hal berikut ini terjadi sebagai contoh jika seseorang dengan sakit leher mengalami “pembengkakan kelenjar” di leher. cairan limfatik dari tenggorokan mengalir ke dalam kelenjar getah bening di leher, dimana organisme penyebab infeksi dapat dihancurkan dan dicegah penyebarannya ke bagian tubuh lainnya.
            Secara umum penyakit tuberkulosis dapat diklasifikasikan menjadi TB pulmoner dan TB ekstrapulmoner. TB pulmoner dapat diklasifikasikan menjadi TB pulmoner primer dan TB pulmoner post-primer (sekunder). TB primer sering terjadi pada anak-anak sehingga sering disebut child-type tuberculosis, sedangkan TB post -primer (sekunder) disebut juga adult-type tuberculosis karena sering terjadi pada orang dewasa, walaupun faktanya TB primer dapat juga terjadi pada orang dewasa (Raviglione, 2010).
Basil tuberkulosis juga dapat menginfeksi organ lain selain paru, yang disebut sebagai TB ekstrapulmoner. Menurut Raviglione (2010), organ ekstrapulmoner yang sering diinfeksi oleh basil tuberkulosis adalah kelenjar getah bening, pleura, saluran kemih, tulang, meningens, peritoneum, dan perikardium.  TB primer terjadi pada saat seseorang pertama kali terpapar terhadap basil tuberkulosis (Raviglione, 2010). Basil TB ini masuk ke paru dengan cara inhalasi droplet.
Sampai di paru, basil TB ini akan difagosit oleh makrofag dan akan mengalami dua kemungkinan. Pertama, basil TB akan mati difagosit oleh makrofag. Kedua, basil TB akan dapat bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag sehingga basil TB akan dapat menyebar secara limfogen,perkontinuitatum, bronkogen, bahkan hematogen.  Penyebaran basil TB ini pertama sekali secara limfogen menuju kelenjar limfe regional dihilus, dimana penyebaran basil TB tersebut akan menimbulkan reaksi inflamasi di sepanjang saluran limfe (limfangitis) dan kelenjar limfe regional (limfadenitis). Pada orang yang mempunyai imunitas baik, 3 – 4 minggu setelah infeksi akan terbentuk imunitas seluler. Imunitas seluler ini akan membatasi penyebaran basil TB dengan cara menginaktivasi basil TB dalam makrofag membentuk suatu fokus primer yang disebut fokus Ghon. Fokus Ghon bersama -sama dengan limfangitis dan limfadenitis regional disebut dengan kompleks Ghon. Terbentuknya focus Ghon mengimplikasikan dua hal penting. Pertama, fokus Ghon berarti dalam tubuh seseorang sudah terdapat imunitas seluler yang spesifik terhadap basil TB. Kedua, fokus Ghon merupakan suatu lesi penyembuhan yang didalamnya berisi basil TB dalam keadaan laten yang dapat bertahan  hidup dalam beberapa tahun dan bisa tereaktivasi kembali menimbulkan penyakit (Datta, 2004).
Jika terjadi reaktivasi atau reinfeksi basil TB pada orang yang sudah memiliki imunitas seluler, hal ini disebut dengan TB post-primer. Adanya imunitas seluler akan membatasi penyebaran basil TB lebih cepat daripada TB primer disertai dengan pembentukan jaringan keju (kaseosa). Sama seperti pada TB primer, basil TB pada TB post-primer dapat menyebar terutama melalui aliran limfe menuju kelenjar limfe lalu ke semua organ (Datta, 2004). Kelenjar limfe hilus, mediastinal, dan paratrakeal merupakan tempat penyebaran pertama dari infeksi TB pada parenkim paru (Mohapatra, 2009).
Basil TB juga dapat menginfeksi kelenjar limfe tanpa terlebih dahulu menginfeksi paru. Basil TB ini akan berdiam di mukosa orofaring setelah basil TB masuk melalui inhalasi droplet. Di mukosa orofaring basil TB akan difagosit oleh makrofag dan dibawa ke tonsil, selanjutnya akan dibawa ke kelenjar limfe di leher (Datta, 2004).

E.     Gejala klinis
1.      Pembengkakan kelenjar getah bening leher, kelenjar tidak sakit, multiple, bebas atas konglomerasi satu sama lain.
Pada non Hodgkin limfoma, dapat tumbuh pada kelompok kelenjar getah bening lain (G. 1 ) misalnya pada traktus digestivus atau pada organ – organ parenkhima.
2.      Demam tipe pel Ebstein.
   imana suhu tubuh meninggi selama beberapa hari yang diselingi dengan suhu normal atau dibawah normal selama beberapa hari atau beberapa minggu.
3.      Gatal – gatal.
4.      Keringat malam.
5.      Berat badan menurun lebih dari 10 % dalam 6 bulan terakhir tanpa diketahui sebabnya.
6.      Kurang nafsu makan.
7.      Daya kerja menurun drastis
8.      Kadang-kadang disertai sesak nafas.
9.      Nyeri setelah mendapat intake alkohol ( 15-20 %)
10.  Pola perluasan Hodgkin sistematis secara sntripetal, dan relatif lebih lambat dan Non Hodgkin tidak sistematis dan relatif lebih cepat bermetasis ketempat yang jauh.
Gejala klinis Limfadenitis TB menurut Pedoman Diagnosis dan Tatalaksana Tuberculosis di Indonesia 2006 merupakan:
1.      Gejala respiratorik
Gejala respiratorik berupa batuk 2 minggu, batuk darah, sesak napas, dan nyeri dada ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung darilua s lesi.
2.       Gejala sistemik      
Gejala sistemik lainberupa demam,malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun.
3.      Gejala TB ekstra paru
Gejala TB ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis TB akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis TB terdapat gejala sesak napas dan terkadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan (PDPI, 2006).

2.6. Diagnosis
Untuk mendiagnosa limfadenitis TB diperlukan tingkat kecurigaan yang tinggi, dimana hal ini masih merupakan suatu tantangan diagnostik untuk banyak klinisi meskipun dengan kemajuan teknik laboratorium. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap, pewarnaan BTA, pemeriksaan radiologis, dan biopsi aspirasi jarum halus dapat membantu dalam membuat diagnosis awal yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam memberikan pengobatan sebelum diagnosis akhir dapat dibuat berdasarkan biopsi dan kultur (Bayazit, 2004) . Juga penting untuk membedakan infeksi mikobakterium tuberkulosis dengan non-tuberkulosis.
Beberapa pemeriksaan yang dilakukan untuk menega kkan diagnosa limfadenitis TB :
a.Pemeriksaan mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi yang meliputi pemeriksaan mikroskopis dan kultur. Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen. Spesimen untuk pewarnaan dapat diperoleh dari sinus atau biopsi aspirasi. Dengan pemeriksaan ini kita  dapat memastikan adanya basil mikobakterium pada spesimen, diperlukan minimal 10.000 basil TB agar perwarnaan dapat positif (Mohapatra, 2009; Bayazit, 2004).
Kultur juga dapat dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis limfadenitis TB. Adanya 10-100 basil/mm 3cukup untuk membuat hasil kultur positif. Hasil kultur positif hanya pada 10-69% kasus (Mohapatra, 2009). Berbagai media dapat digunakan seperti Petregnani, Trudeau, Middle -brook, dan Bactec TB. Diperlukan waktu beberapa minggu untuk mendapatkan hasil kultur. Pada adenitis tuberkulosa, M.tuberculosis adalah penyebab tersering, diikuti oleh
M.bovis (Bayazit, 2004).
b. Tes Tuberkulin
Pemeriksaan intradermal ini (Mantoux Test) dilakukan untuk menunjukkan adanya reaksi imun tipe lambat yang spesifik untuk antigen mikobakterium pa da seseorang. Reagen yang digunakan adalah protein purified derivative(PPD). Pengukuran indurasi dilakukan 2-10 minggu setelah infeksi. Dikatakan positif apabila terbentuk indurasi lebih dari 10 mm, intermediat apabila indurasi 5-9 mm, negatif apabila indurasi kurang dari 4 mm (Mohapatra, 2009).
c. Pemeriksaan Sitologi
Spesimen untuk pemeriksaan sitologi diambil dengan menggu nakan biopsi aspirasi kelenjar limfe. Sensitivitas dan spesifitas pemeriksaan sitologi dengan biopsi aspirasi untuk menegakkan diagnosis limfadenitis TB adalah 78% dan 99% (Kocjan, 2001) . CT scan dapat digunakan untuk memba ntu pelaksanaan biopsi aspirasi kelenjar limfe intratoraks dan intraabdominal (Sharma, 2004) .
Pada pemeriksaan sitologi akan terlihat Langhans giant cell, granuloma epiteloid, nekrosis kaseosa. Muncul kesulitan dalam pendiagnosaan apabila gambaran konvensional seperti sel epiteloid atau Langhans giant cell tidak ditemukan pada aspirat. Pada penelitian yang dilakukan oleh Lubis (2008), bahwa gambaran sitologi bercak gelap dengan materi eusinofilik dapat digunakan sebagai tambahan karakteristik tuberkulosis selain gambaran epiteloid dan  Langhans giant cell. Didapati bahwa aspirat dengan gambaran sitologi bercak gelap dengan materi eusinofilik, dapat memberikan hasil positif tuberkulosis apabila dikultur.
d. Pemeriksaan Radiologis
Foto toraks, USG, CT scan dan MRI leher dapat dilakukan untuk membantu diagnosis limfadenitis TB. Foto toraks dapat menunjukkan kelainan yang konsisten dengan TB paru pada 14-20% kasus. Lesi TB pada foto toraks lebih sering terjadi pada anak-anak dibandingkan dewasa, yaitu sekitar 15% kasus (Bayazit, 2004). 


DAFTAR PUSTAKA

Ioachim, M. L., Medeiros, L. J., 2009. Ioachim’s Lymph Node Pathology 4th Edition. Philadelphia: Lip pincott Williams & Wilkins, 130-134.
Sharma, S.K., Mohan, A., 2004. Extrapulmonary tuberculosis. Available from: http://www.pneumonologia.gr/articlefiles/20070307_EXTRaPULMONARY_tbc.pdf [Accessed on 23 June 2016].
Geldmacher, H., Taube, C., Kroeger, C., Magnussen, H., Kirsten, D. K., 2002. Assessment of Lymph Node Tuberculosis in Northern Germany: A Clinical Review. Chest; 121:1177-82.
Raviglione, Mario.C., & O’Brien, Richard.J., 2010. Tuberculosis. In: Loscalzo, Joseph, et al., ed Harisson’s Pulmonary and Critical Medicine. New York: Mc Graw Hill Medical, 115-138.
Datta, BN. 2004. Textbook of Pathology 2th Edition. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers Ltd, 239-246.
Mohapatra, P. R., dan Janmeja, A. K., 2009. Tuberculous Limfadenitis. Journal Association of Physicians India 2009; 57: 589-590.
PDPI. 2006. Pedoman Diagnosis Dan Penatalaksanaan Tuberkulosis Di Indonesia,. Available URL: http://www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.html.
Bayazit, Y. A., Bayazit, N., Namiduru, M., 2004. Mycobacterial Cervical Lymphadenitis. ORL; 66:275-80.







            

0 komentar: