KANKER (PAYUDARA, SERVIKS, PARU, PROSTAT)

KANKER
(Kanker Payudara, Kanker Serviks, Kanker Paru, Kanker Prostat)
Makalah ini disusun untuk Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah Epidemiologi Penyakit Menular dan Tidak Menular






Disusun oleh :
Kelompok 8 Kelas A
Thirzandi Dwiyana Rizky                G1B013034
Zahrotun Nisa Andriani                   I1A015031
Anita Firstiana Nemesis                    I1A015035
Sasmita Dwi Ramadhani                  I1A015055
Nurma Kurniawati                           I1A015057
Sukma Astuti Puspa Dewi                I1A015089


KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT
PURWOKERTO
2017


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Indonesia telah mengalami transisi epidemiologi dan juga menghadapi beban masalah ganda (double bordens). Hal tersebut ditandai dengan adanya kejadian penyakit menular serta tidak menular secara bersamaan dalam masyarakat. Transisi epidemiologi tersebut ditandai dengan adanya pergeseran pola penyakit serta pola sebab kematian dalam masyarakat, yaitu menurunnya angka kejadian penyakit menular tertentu dan meningkatnya angka kejadian berbagai jenis penyakit tidak menular (Noor, 2008). Kanker merupakan salah satu jenis penyakit tidak menular yang angka kejadiannya memiliki kecenderungan meningkat pada setiap tahunnya. Data WHO pada tahun 2010 menyebutkan bahwa kanker menempati urutan nomor dua sebagai penyebab kematian terbanyak, berada di bawah penyakit kardiovaskuler (Depkes RI, 2013).
Kanker merupakan pertumbuhan sel yang tidak normal, menduplikasi diri di luar kendali dan biasanya nama kanker didasarkan pada bagian tubuh yang menjadi tempat pertama kali sel kanker tersebut tumbuh (Putri, 2009). Kanker adalah penyakit yang ditandai dengan pembelahan sel yang tidak terkendali. Sel-sel tersebut menyerang jaringan biologis lainnya, baik dengan pertumbuhan langsung di jaringan yang bersebelahan (invasi) maupun dengan migrasi sel ke tempat yang jauh (metastasis) (Dewi, 2009). Secara sederhana, kanker berarti pertumbuhan sel-sel tubuh yang tidak terkendali atau abnormal. Hingga kini penyebab pertumbuhan sel tubuh yang abnormal itu tidak diketahui secara pasti. Jika menyerang suatu organ tubuh, sel kanker akan berkembang biak dan merusak sel-sel tubuh yang normal dengan sangat cepat (Ramadhan, 2007).
Penyakit kanker merupakan salah satu penyebab kematian utama di seluruh dunia. Pada tahun 2012, sekitar 8,2 juta kematian disebabkan oleh kanker. Kanker paru, kanker hati, kanker perut, kanker kolorektal, dan kanker payudara adalah penyebab terbesar kematian akibat kanker setiap tahunnya. Menurut data GLOBOCAN (IARC) tahun 2012 diketahui bahwa kanker payudara merupakan penyakit kanker dengan persentase kasus baru (setelah dikontrol oleh umur) tertinggi, yaitu sebesar 43,3%, dan persentase kematian (setelah dikontrol oleh umur) akibat kanker payudara sebesar 12,9%. Kanker serviks merupakan penyebab kematian kedua karena kanker pada wanita setelah kanker payudara dengan insiden 16 per 100.000 perempuan dengan prevalensi urutan ketiga terbanyak pada wanita di seluruh dunia. Kanker prostat diperkirakan menduduki urutan ke-4 kanker yang paling sering ditemukan pada manusia setelah kanker payudara, paru dan kolorektum sedangkan angka kejadian kanker pada pria, kanker prostat menduduki urutan ke-2 yaitu sekitar 14,8% setelah kanker paru 16,8%. Sedangkan kanker paru tidak hanya merupakan jenis kanker dengan kasus baru tertinggi dan penyebab utama kematian akibat kanker pada penduduk laki-laki, namun kanker paru juga memiliki persentase kasus baru cukup tinggi pada penduduk perempuan, yaitu sebesar 13,6% dan kematian akibat kanker paru sebesar 11,1%.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana definisi, etiologi, distribusi dan frekuensi, faktor risiko, gejala, diagnosis, prognosis, pencegahan, pengobotan, dan rehabilitasi Kanker Payudara?
2.      Bagaimana definisi, etiologi, distribusi dan frekuensi, faktor risiko, gejala, diagnosis, prognosis, pencegahan, pengobotan, dan rehabilitasi Kanker Serviks?
3.      Bagaimana definisi, etiologi, distribusi dan frekuensi, faktor risiko, gejala, diagnosis, prognosis, pencegahan, pengobotan, dan rehabilitasi Kanker Prostat?
4.      Bagaimana definisi, etiologi, distribusi dan frekuensi, faktor risiko, gejala, diagnosis, prognosis, pencegahan, pengobotan, dan rehabilitasi Kanker Paru?

C.    Tujuan
1.      Mengetahui definisi, etiologi, distribusi dan frekuensi, faktor risiko, gejala, diagnosis, prognosis, pencegahan, pengobotan, dan rehabilitasi Kanker Payudara.
2.      Mengetahui definisi, etiologi, distribusi dan frekuensi, faktor risiko, gejala, diagnosis, prognosis, pencegahan, pengobotan, dan rehabilitasi Kanker Serviks.
3.      Mengetahui definisi, etiologi, distribusi dan frekuensi, faktor risiko, gejala, diagnosis, prognosis, pencegahan, pengobotan, dan rehabilitasi Kanker Prostat.
4.      Mengetahui definisi, etiologi, distribusi dan frekuensi, faktor risiko, gejala, diagnosis, prognosis, pencegahan, pengobotan, dan rehabilitasi Kanker Paru.  



BAB II
PEMBAHASAN
A.      KANKER PAYUDARA
1.      Definisi
Kanker payudara (Carcinoma mammae) adalah keganasan pada payudara yang berasal dari sel kelenjar, saluran kelenjar, serta jaringan penunjang payudara, namun tidak termasuk kulit payudara (Depkes RI, 2009). Menurut Sjamsuhidajat & De Jong (2004), kanker payudara adalah penyakit yang bersifat ganas akibat tumbuhnya sel kanker yang berasal dari sel-sel normal di payudara bisa berasal dari kelenjar susu, saluran susu atau jaringan penunjang seperti lemak dan saraf. Kanker payudara terjadi karena adanya kerusakan pada gen yang mengatur pertumbuhan dan diferensiasi, sehingga sel itu tumbuh secara progresif dan berkembang biak relatif cepat dengan memperbesar areanya tanpa dapat dikendalikan. Pada stadium awal tidak banyak terjadi keluhan dari penderita sehingga banyak sekali kanker payudara yang mulai terdeteksi pada stasium lanjut. Penyebaran kanker payudara ini dapat terjadi ketika telah melewati stadium lanjut, penyebarannya dapat menyerang ke berbagai jaringan di dalam organ tubuh, termasuk organ reproduksi wanita yang terdiri dari payudara, rahim, indung telur dan vagina (Setyowati, 2012). Kanker payudara pada umumnya banyak menyerang wanita yang telah berumur lebih dari 40 tahun. Namun, wanita muda pun dapat terserang penyakit kanker ini (Mardiana, 2004).
2.      Etiologi
Etiologi penyakit kanker payudara sampai saat ini belum dapat diketahui secara jelas penyebabnya, akan tetapi banyak penelitian yang menunjukkan adanya hubungan multifaktorial yang saling berhubungan dengan peningkatan risiko atau kemungkinan terjadinya kanker payudara. Faktor-faktor tersebut adalah faktor reproduksi seperti menarche atau haid pertama usia kurang dari 12 tahun, menopause di usia lebih dari 50 tahun, melahirkan anak pertama lebih dari 35 tahun, faktor endokrin seperti pemakaian kontrasepsi oral dalam waktu yang lama, diet seperti makanan berlemak, alkohol, genetik atau riwayat keluarga, terpapar radiasi pengion saat pertumbuhan payudara (Depkes RI, 2009). Suryaningsih dan Sukaca (2009), menambahkan adanya kelemahan genetik pada sel tubuh mempermudah timbulnya sel kanker, iritasi dan inflamasi kronis selanjutnya dapat berkembang menjadi kanker, radiasi sinar matahari dan sinar-x, senyawa kimia, seperti aflatoxin B1, asbestos, nikel, arsen, arang, tarr, asap rokok, kontrasepsi oral, dan sebagainya, serta makanan yang bersifat karsinogenik, misalnya makanan kaya karbohidrat yang diolah dengan digoreng, ikan asin, dan sebagainya juga diduga sebagai multifaktor yang menyebabkan timbulnya kanker ini.
3.      Distribusi dan Frekuensi
Kanker payudara saat ini menjadi kanker yang paling sering menyerang perempuan di seluruh dunia dan menjadi penyebab kematian tersering pada perempuan dengan rerata 1,3 juta kasus baru dan sekitar 458.000 kematian akibatnya (Ellen, 2011). Berdasarkan data dari IARC (International Agency for Research on Cancer), pada tahun 2002 kanker payudara menempati urutan pertama dari seluruh kanker pada perempuan (Incident Rate 38 per 100.000 perempuan) dengan kasus baru sebesar 22,7% dan jumlah kematian 14% per tahun dari seluruh kanker pada perempuan di dunia (Jemal et al., 2011).
Insiden kanker payudara bervariasi secara global di mana Amerika Utara dan Eropa Barat merupakan daerah dengan jumlah kasus tertinggi, kasus pertengahan terjadi di Amerika Selatan dan Eropa Timur, sedangkan kasus yang relatif rendah terjadi di Asia (Singh, 2007). The American Cancer Society memperkirakan 211.240 wanita di Amerika Serikat didiagnosis menderita kanker payudara (stadium I-IV) dan 40.140 orang meninggal pada tahun 2005. Selanjutnya, Canadian Cancer Society mengatakan penderita kanker payudara pada tahun 2005 di Kanada mencapai 21.600 wanita dan 5.300 orang meninggal dunia (Siegel et al., 2013).
Kanker payudara merupakan satu diantara tiga serangkai keganasan yang menyerang perempuan di Indonesia, yakni kanker payudara, kanker serviks dan kanker kulit (Rata, 2011). Insiden kanker di Indonesia masih belum diketahui secara pasti karena belum ada registrasi kanker berbasis populasi yang dilaksanakan, tetapi IARC memperkirakan insiden kanker payudara di Indonesia pada tahun 2002 sebesar 26 per 100.000 perempuan (Supit, 2002).



4.      Faktor Risiko
Penyebab timbulnya kanker payudara belum diketahui secara pasti, namun bersifat multifaktorial atau banyak faktor. Beberapa hal yang dapat menjadi penyebab kanker payudara, yaitu
a.       Genetik
Faktor genetik kemungkinan untuk menderita kanker payudara 2-3x lebih besar pada wanita yang ibunya atau saudara kandungnya menderita kanker payudara (Erik, 2005). Sekitar 5% sampai 10% dari kasus kanker payudara akibat langsung dari cacat gen (disebut mutasi) diwarisi dari orangtua. Penyebab paling umum dari kanker payudara herediter adalah mutasi diwariskan dalam gen BRCA-1 dan BRCA-2. Dalam sel normal, gen ini membantu mencegah kanker dengan membuat protein yang menjaga sel-sel dari tumbuh abnormal (ACS, 2013).
b.      Jenis kelamin
Perempuan lebih berisiko menderita kanker payudara dibandingkan laki-laki, hal ini mungkin karena pria memiliki lebih sedikit hormon wanita estrogen dan progesteron, yang dapat mendorong pertumbuhan sel kanker payudara. Pada pria juga dapat terjadi kanker payudara, namun frekuensinya hanya kira-kira 1 % dari kanker payudara pada wanita (Erik, 2005).
c.       Usia
Usia dibawah 20 tahun jarang dijumpai kanker payudara, angka kejadiannya meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Kemungkinan kanker payudara berkembang pada umur di atas 40 tahun (Depkes, 2007).
d.      Usia menarche dan menopause
Usia menstruasi yang lebih awal (<12 th) dan menopause yang terlambat (>48 th) berhubungan dengan lamanya paparan hormon estrogen dan progesteron pada wanita yang berpengaruh terhadap proses proliferasi jaringan payudara (Maulina dan Nurul, 2012).
e.       Riwayat pemberian ASI
Wanita yang menyusui akan mengurangi risiko terkena kanker payudara sebab kadar hor­mon estrogen dan hormon progesteron dalam darah akan menurun selama menyusui dan akan mengurangi pengaruh hormon tersebut terhadap proses pro­liferasi pada jaringan payudara yang dapat memicu terjadinya kanker payudara (Anggrowati, 2013).
f.       Gaya hidup
Kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, makan makanan yang bersifat karsinogenik, misalnya makanan kaya karbohidrat yang diolah dengan digoreng, dibakar, ikan asin, dan sebagainya, pemakaian alat kontrasepsi hormonal dalam jangka waktu yang lama, paparan radiasi, tidak pernah melahirkan atau melahirkan pertama kali pada usia lebih dari 35 tahun serta tidak menyusui (Suryaningsih dan Sukaca, 2009).
g.      Obesitas
Sebelum menopause ovarium menghasilkan banyak estrogen, dan jaringan lemak menghasilkan sejumlah kecil estrogen. Setelah menopause (ketika ovarium berhenti membuat estrogen), sebagian besar estrogen wanita berasal dari jaringan lemak. Jaringan lemak ini dapat meningkatkan risiko kanker payudara dengan tingginya estrogen. Selain itu, wanita yang obesitas cenderung memiliki kadar insulin darah yang lebih tinggi. Kadar insulin lebih tinggi juga telah dikaitkan dengan beberapa kanker, termasuk kanker payudara (ACS, 2013).
h.      Aktivitas fisik
Dalam satu studi dari Women Health Initiative, jalan cepat sedikitnya 1,25-2,5 jam per minggu dapat mengurangi risiko seorang wanita terkena kanker payudara sebesar 18% (ACS, 2013).
5.      Gejala
Gejala dan pertumbuhan kanker payudara tidak mudah dideteksi karena awal pertumbuhan sel kanker payudara tidak dapat diketahui dengan mudah. Munculnya gejala biasanya diketahui setelah stadium kanker berkembang lanjut. Gejala-gejala kanker payudara yang tidak disadari dan tidak dirasakan pada stadium dini menyebabkan banyak penderita yang berobat dalam kondisi kanker stadium lanjut, sehingga akan mempersulit penyembuhan dan peluang sembuh pun menjadi lebih kecil jika dibandingkan dengan seseorang yang telah mendapatkan penanganan di stadium dini (Pulungan, 2010). Fase awal kanker payudara asimtomatik (tanpa tanda dan gejala). Tanda dan gejala yang paling umum adalah benjolan dan penebalan pada payudara. Kebanyakan kira-kira 90% ditemukan oleh penderita sendiri. Kanker payudara pada stadium dini biasanya tidak menimbulkan keluhan (Gale, 2000).
Menurut Suryaningsih dan Sukaca (2009), gejala munculnya kanker payudara pada stadium awal biasanya berupa benjolan kecil di payudara dengan tidak ada rasa nyeri apabila diraba, sedangkan pada stadium lanjut muncul “warning sign” sebagai berikut:
·           benjolan pada payudara yang dapat diraba dan biasanya semakin mengeras, tidak beraturan, serta terkadang menimbulkan nyeri;
·           perubahan bentuk dan ukuran, kerutan pada kulit payudara sehingga tampak menyerupai kulit jeruk (peau d’orange);
·           cairan tidak normal berupa nanah, darah, cairan encer, atau air susu pada ibu tidak hamil atau tidak sedang menyusui yang keluar dari puting susu;
·           pembengkakkan di salah satu payudara, tarikan pada puting susu atau puting susu terasa gatal, serta nyeri;
·           dapat timbul nyeri tulang, pembengkakan lengan, ulserasi kulit, atau penurunan berat badan.
            Apabila ditemukan adanya gejala-gejala atau warning sign tersebut maka penderita kanker payudara harus segera untuk memeriksakan diri ke dokter agar cepat mendapatkan penanganan yang cepat dan tepat (Bustan, 2007). Gejala yang timbul bila metastase luas, berupa: pembesaran kelenjar getah bening supraklavikula dan servikal; hasil rontgen toraks abnormal dengan atau tanpa efusi pleura; peningkatan alkali fosfatase atau nyeri tulang berkaitan dengan penyebaran ke tulang; serta fungsi hati abnormal (Gale, 2000).
            Gejala kanker payudara pada pria sama seperti pada kanker payudara pada wanita seperti umumnya dengan mulai munculnya benjolan di salah satu payudara dan jika diraba terasa keras dan menggerinjil. Bila berlanjut pada stadium berikutnya maka akan terjadi perubahan warna pada puting menjadi hitam ditambah kulit puting menjadi merah, menegerut, tertarik kedalam dan puting mengeluarkan cairan (Pulungan, 2010).



6.      Diagnosis
a.         Anamnesis
Anamnesis adalah pengambilan data yang dilakukan oleh dokter atau perawat untuk mengetahui keadaan pasien melalui wawancara atau tanya jawab dengan pasien yang bersangkutan untuk mengetahui keluhan baik berupa benjolan, rasa sakit, edema lengan atau kelainan kulit maupun berhubungan dengan metastasis seperti nyeri tulang vertebrata, sesak, batuk dan lain-lain, perjalanan penyakit, faktor risiko (usia, riwayat keluarga, riwayat kanker individu dan konsumsi lemak), dan tanda-tanda umum lainnya (Aguswan, 2000).
b.        Pemeriksaan fisik: SADARI (pemeriksaan payudara sendiri) dan SADANIS (pemeriksaan payudara klinis) atau (CBE / Clinical Breast Examination).
1)      SADARI
Menurut Depkes RI (2009), SADARI adalah pemeriksaan payudara yang dilakukan sendiri dengan belajar melihat dan memeriksa payudaranya sendiri setiap bulan. Dengan melakukan pemeriksaan secara teratur dapat diketahui adanya benjolan atau masalah lain sejak dini walaupun masih berukuran kecil sehingga lebih efektif untuk diobati. Pemeriksaan ini dilakukan sekitar 7-14 hari setelah awal siklus menstruasi karena pada masa tersebut retensi cairan minimal dan payudara dalam keadaan lembut dan tidak membengkak sehingga jika ada pembengkakan akan lebih mudah ditemukan. SADARI dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
Langkah 1: berdiri di depan cermin agar dapat melihat kedua payudara secara jelas. Amati dengan teliti dan perhatikan bila ada benjolan atau perubahan bentuk pada payudara (gambar 1).
Langkah 2: arahkan perhatian ke cermin, tangkupkan kedua tangan di belakang kepala dan tekan tangan ke depan (gambar 2).
Langkah 3: angkatlah lengan kanan, pergunakan 3-4 jari tangan kiri untuk memeriksa payudara kanan secara lembut, hati-hati dan secara menyeluruh dengan bergantian pada payudara kiri. Berikan perhatian khusus di daerah antara payudara dan ketiak, periksalah apakah ada kelainan berupa retraksi, inflamasi, pembengkakan, atau kemerahan di semua bagian kedua payudara (gambar 3 dan 4).
Langkah 4: pijat puting susu ke arah jam 12 kemudian ke arah jam 2 sampai kembali lagi ke arah jam 12, dirasakan apakah ada benjolan dan lihat jika ada cairan yang keluar darah atau cairan spontan maka keadaan tidak normal (gambar 4 dan 5).
Langkah 5: ulangi langkah 3 dan 4 dengan posisi berbaring pada tempat yang permukaan yang rata. Berbaringlah dengan lengan kanan di belakang kepala dan bantal kecil di bawah pundak. Lakukan gerakan melingkar seperti tahap 3 dan 4, lakukan juga pada payudara kiri (gambar 6) (Gaol, 2010).
2)      SADANIS atau CBE (Clinical Breast Examination)
SADANIS atau pemeriksaan payudara klinis adalah pemeriksaan fisik untuk mendeteksi kelainan-kelainan yang ada pada payudara dan untuk mengevaluasi kanker payudara pada tahap dini sebelum berkembang menjadi tahap lebih lanjut oleh tenaga kesehatan (nakes) terlatih. Pada wanita usia rata-rata 40 tahun atau yang lebih muda, deteksi dini terhadap adanya massa pada payudara lebih efektif menggunakan CBE. Sementara itu, pada wanita dengan usia diatas 40 tahun mammografi merupakan metode yang direkomendasikan dan CBE dipakai sebagai metode yang menunjang pada deteksi dini kanker payudara (Rasjidi, 2009).
c.       Pemeriksaan Biopsi Jarum Halus
Pemeriksaan ini dilakukan pada lesi yang secara klinis dan radiologi dicurigai ganas. Biopsi jarum halus dilakukan dengan menusuk tumor dengan jarum halus dan disedot dengan spuit 10 cc sampai jaringan tumor lepas dan masuk ke dalam jarum. Kemudian jaringan tumor diperiksa di laboratorium oleh ahli Patologi Anatomi untuk mengetahui apakah jaringan tersebut ganas (maligna) atau jinak (benigna) (Gale, 2000).
d.      Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi dilakukan dengan menggunakan Mammografi dan USG (Ultrasonografi) payudara.
1)      Mammografi (Breast Imaging)
Mammografi merupakan tindakan pemeriksaan payudara dengan menggunakan sinar X berintensitas rendah. Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk melihat ada tidaknya benjolan pada payudara. Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk perempuan dengan keluhan perihal payudara, baik setelah ditemukan maupun sebelum ditemukan adanya benjolan dan sebagai check up kanker payudara. American Cancer Society dalam programnya menganjurkan sebagai berikut :
·         Untuk perempuan berumur 35-39 tahun, cukup dilakukan 1 kali mammografi dasar (Baseline Mammogram).
·         Untuk perempuan berumur 40-50 tahun, mammografi dilakukan 1 atau 2 tahun sekali.
·         Untuk perempuan berumur di atas 50 tahun, mammografi dilakukan setahun sekali (ACS, 2007).
2)      Ultrasonografi (USG)
USG sangat bermanfaat jika digunakan bersamaan dengan mammografi untuk tujuan diagnostik untuk membantu membedakan kista berisi cairan atau solid. Untuk menentukan stadium dapat menggunakan foto thoraks, USG abdomen, Bone Scanning (Scan tulang) dan CT Scan (Otto, 2005).
e.       Pemeriksaan Laboratorium
Dianjurkan untuk pemeriksaan darah rutin dan pemeriksaan kimia darah sesuai dengan perkiraan metastasis. Apabila ditemukan Tumor marker hasilnya tinggi, perlu diulang untuk follow up (Kemenkes RI, 2010).
f.       Pemeriksaan Patologi Anatomi
Pemeriksaan patologi pada kanker payudara meliputi pemeriksaan sitologi, morfologi (histopatologi), pemeriksaan immunohistokimia, in situ hibridisasi dan gene array (hanya dilakukan pada penelitian dan kasus khusus).
1)      Pemeriksaan Immunohistokimia
Pemeriksaan Imunohistokimia (IHK) adalah metode pemeriksaan menggunakan antibodi untuk mendeteksi antigen dalam potongan jaringan (tissue sections) ataupun bentuk preparasi sel lainnya. IHK merupakan standar dalam menentukan subtipe kanker payudara.Pemeriksaan IHK pada karsinoma payudara berperan dalam membantu menentukan prediksi respons terapi sistemik dan prognosis (Kemenkes RI, 2010).
7.      Prognosis
Faktor prognosis terpenting untuk kanker payudara adalah ukuran tumor primer, metastasis ke kelenjar getah bening dan adanya lesi. Faktor prognosis lokal yang buruk adalah invasi ke dinding dada, ulserasi kulit dan gambaran klinis karsinoma peradangan. Gambaran ini digunakan untuk mengklasifikasikan perempuan ke dalam kelompok prognosis demi kepentingan pengobatan, konseling dan uji klinis (Fahriza, 2010).
a.         Stadium 0: angka harapan hidup 10 tahun (98%) bagi penderita kanker payudara yang tidak terdeteksi oleh mamografi atau USG.
Ciri-ciri: sel kanker payudara tetap di dalam kelenjar payudara, tanpa invasi ke dalam jaringan payudara normal yang berdekatan.
b.        Stadium I: angka harapan hidup 5 tahun (85%)
Ciri-ciri: tumor terbatas dalam payudara, bebas dari jaringan sekitarnya dan tidak ada klasifikasi / infiltrasi pada kulit serta jaringan di bawahnya. Besar tumor 1-2 cm dan KGB (Kelenjar Getah Bening) regional belum teraba.
c.         Stadium II: angka harapan hidup 5 tahun (60-70%)
Ciri-ciri: seperti stadium I dengan besar tumor 2-5 cm, sudah ada KGB aksila (+) tetapi masih bebas dengan diameter kurang 2 cm.
d.        Stadium III: angka harapan hidup 5 tahun (30-50%)
Stadium III A memiliki ciri-ciri tumor berukuran 5-10 cm, tatapi masih bebas dari jaringan sekitarnya dan KGB aksila masih bebas satu sama lain.
Stadium III B memiliki ciri-ciri tumor meluas dalam jaringan payudara dengan ukuran tumor 5-10 cm, fiksasi pada kulit atau dinding dada dengan warna kulit merah, ada edema (lebih dari 1/3 permukaan kulit payudara), ulserasi, nodul satelit, KGB aksila melekat satu sama lain atau ke jaringan sekitarnya dengan diameter 2-5 cm dan belum ada metastatis jauh. Biasanya kanker pada stadium ini telah menyebar ke jaringan-jaringan di dekat payudara dan ke kelenjar limfa dalam dinding bahu sepanjang tulang dada.
e.         Stadium IV: angka harapan hidup 5 tahun (15%)
Ciri-ciri: tumor seperti stadium I, II, III tetapi sudah disertai dengan KGB aksila supraklavikula dan metastatis jauh. Biasanya kanker telah menyebar ke organ-organ tubuh yang lain (tulang, paru, liver atau otak) dan ke kelenjar limfa dalam leher (Otto, 2005).
8.      Pencegahan
Pencegahan kanker payudara bertujuan untuk menurunkan angka insidensi kanker payudara dan secara tidak langsung untuk menurunkan angka kematian akibat kanker payudara. Pencegah kanker payudara ini dapat dilakukan melalui tahapan:
a.         Pencegahan Primodial, upaya pencegahan yang ditujukan kepada orang sehat yang belum memiliki faktor risiko. Upaya ini dimaksudkan dengan menciptakan kondisi pada masyarakat yang memungkinkan kanker payudara tidak mendapat dukungan dasar dari kebiasaan, gaya hidup dan faktor risiko lainnya. Pencegahan primodial ini dapat dilakukan melalui promosi kesehatan yang ditujukan pada orang sehat melalui upaya pola hidup sehat.
b.        Pencegahan Primer, upaya pencegahan dilakukan pada orang sehat yang memiliki faktor risiko terkena kanker payudara dengan menghindarkan diri dari keterpaparan berbagai faktor risiko dan melaksanakan pola hidup sehat.
Pencegahan primer ini dapat dilakukan melalui :
·         mengurangi makan makanan tinggi lemak, perokok aktif dan pasif, serta pemakaian obat hormonal > 5 tahun;
·         memperbanyak aktivitas fisik dengan berolahraga;
·         menghindari terlalu banyak terkena sinar X atau jenis radiasi lainnya; dan
·         memperbanyak mengkonsumsi serat, buah-buahan dan sayuran terutama yang mengandung vitamin C, zat antioksidan, dan fitokimia (Gaol, 2010).
c.         Pencegahan Sekunder, ditujukan untuk mengobati para penderita dan mengurangi akibat-akibat yang lebih serius dari penyakit kanker payudara melalui diagnosa, deteksi dini dan pemberian pengobatan. Pencegahan sekunder ini dapat dilakukan melalui :
·         SADARI (pemeriksaan payudara sendiri);
·         SADANIS (pemeriksaan payudara klinis) atau (CBE/ Clinical Breast Examination);
·         Pemeriksaan biopsi jarum halus;
·         Mammografi (Breast Imaging)
·         Ultrasonografi (USG);
·         Pemeriksaan laboratorium;
·         Pemeriksaan patologi anatomi (Gede, 2000).
d.        Pencegan Tersier, upaya pencegahan untuk mengurangi terjadinya komplikasi yang lebih berat dan memberikan penanganan yang tepat pada penderita kanker payudara sesuai dengan stadiumnya agar dapat mengurangi kecacatan dan memperpanjang hidup penderita. Pencegahan tersier ini penting untuk meningkatkan kualitas hidup penderita, meneruskan pengobatan serta memberikan dukungan psikologis bagi penderita. Percegahan tersier ini dapat dilakukan melalui:
·         pelayanan di Rumah Sakit untuk memperoleh diagnosa dan pengobatan yang tepat dari dokter ; dan
·         paliatif yang berfokus pada pengurangan keparahan gejala sakit daripada berusaha untuk menghentikan, menunda, dan memberikan penyembuhan pada penderita (Rasjidi, 2009).
9.      Pengobatan
Penatalaksanaan kanker payudara dilakukan dengan serangkaian pengobatan meliputi pembedahan, kemoterapi, terapi hormon, terapi radiasi dan yang terbaru adalah terapi imunologi (antibodi). Pengobatan ini ditujukan untuk memusnahkan kanker atau membatasi perkembangan penyakit serta menghilangkan gejala-gejalanya. Keberagaman jenis terapi ini mengharuskan terapi dilakukan secara individual.
a.       Pembedahan (Operasi)
Operasi adalah terapi untuk membuang tumor, memperbaiki komplikasi dan merekonstruksi efek yang ada melalui operasi. Namun tidak semua stadium kanker dapat disembuhkan atau dihilangkan dengan cara ini. Prosedur pembedahan yang dilakukan pada pasien kanker payudara tergantung pada tahapan penyakit, jenis tumor, umur dan kondisi kesehatan pasien secara umum. Ahli bedah dapat mengangkat tumor (lumpectomy), mengangkat sebagian payudara yang mengandung sel kanker atau pengangkatan seluruh payudara (mastectomy). Semakin dini kanker payudara ditemukan kemungkinan sembuh dengan operasi semakin besar. Jenis-jenis operasi yang dilakukan untuk mengobati kanker payudara ada 2 yaitu :
1)      Mastektomi
Mastektomi adalah operasi pengangkatan payudara. Ada 3 jenis mastektomi yaitu :
·         Modified Radycal Mastectomy, yaitu operasi pengangkatan seluruh payudara, jaringan payudara di tulang dada, tulang selangka dan tulang iga, serta benjolan disekitar ketiak.
·         Total (Simple) Mastectomy, yaitu operasi pengangkatan seluruh payudara saja, tanpa kelenjar di ketiak.
·         Radical Mastectomy, yaitu operasi pengangkatan sebagian dari payudara. Biasanya disebut lumpectomy, yaitu pengangkatan hanya pada jaringan yang mengandung sel kanker, bukan seluruh payudara. Biasanya lumpectomy direkomendasikan pada pasien yang besar tumornya kurang dari 2 cm dan letaknya di pinggir payudara (Gede, 2000).
2)      Pengangkatan Kelenjar Getah Bening (KGB) Ketiak
Pengangkatan KGB Ketiak dilakukan terhadap penderita kanker payudara yang menyebar tetapi besar tumornya lebih dari 2,5 cm (Gede, 2000).
Untuk meningkatkan harapan hidup, pembedahan biasanya diikuti dengan terapi tambahan seperti radiasi, hormon atau kemoterapi.
b.      Non pembedahan
1)      Terapi Radiasi
Terapi radiasi dilakukan dengan proses penyinaran pada daerah yang terkena kanker menggunakan sinar-X dan sinar gamma dengan intensitas tinggi yang bertujuan untuk membunuh sel kanker yang masih tersisa di payudara setelah operasi. Efek pengobatan ini adalah tubug menjadi lemah, nasfu makan berkurang, warna kulit di sekitar payudara menjadi hitam serta Hb dan leukosit cenderung menurun sebagai akibat dari radiasi (Otto, 2005).
2)      Terapi Hormon
Terapi hormonal dapat menghambat pertumbuhan tumor yang peka hormon dan dapat dipakai sebagai terapi pendamping setelah pembedahan atau pada stadium akhir. Pemberian hormon dilakukan apabila penyakit telah sistemik berupa metastasis jauh. Terapi hormonal biasanya diberikan secara paliatif sebelum kemoterapi (Otto, 2005).
3)      Kemoterapi
Kemoterapi adalah proses pemberian obat-obatan anti kanker dalam bentuk pil cair atau kapsul atau melalui infus yang bertujuan membunuh sel kanker. Obat-obatan ini tidak hanya membunuh sel kanker pada payudara, tetapi juga seluruh sel dalam tubuh. Obat kemoterapi digunakan baik pada tahap awal ataupun tahap lanjut penyakit (tidak dapat lagi dilakukan pembedahan). Obat kemoterapi bisa digunakan secara tunggal atau dikombinasikan. Salah satu diantaranya adalah capecitabine dari roche, obat anti kanker oral yang diaktivasi oleh enzim yang ada pada sel kanker, sehingga hanya menyerang sel kanker saja. Efek dari kemoterapi adalah pasien mengalami mual dan muntah serta rambut rontok (Gede, 2000).
4)      Terapi Imunologik
Terapi imunologik ini dilakukan dengan menggunakan antibodi secara khusus yang dirancang untuk menyerang HER2 (protein pemicu pertumbuhan) dan menghambat pertumbuhan tumor (Lubis, 2011).
10.  Rehabilitasi
Upaya rehabilitasi terhadap penderita kanker payudara dilakukan dalam bentuk rehabilitasi medik serta rehabilitasi jiwa dan sosial. Rehabilitasi medik dilakukan untuk memperbaiki dan mempertahankan keadaan penderita pasca operasi atau pasca terapi lainnya. Rehabilitasi jiwa dan sosial diberikan melalui dukungan moral dari orang-orang terdekat dan konseling dari petugas kesehatan maupun tokoh agama. Biasanya penderita merasa kehilangan harga dirinya sebagai wanita, oleh karena itu dukungan dari orang-orang terdekatnya diperlukan sekali untuk membuat pasien semangat dan percaya diri dalam menjalani hidup, dan bimbingan konseling dari petugas kesehatan maupun tokoh agama juga diperlukan agar pasien dapat lebih leluasa mencurahkan keluh kesah yang dihadapinya (Gaol, 2010).

B.     KANKER SERVIKS
1.      Definisi
Kanker serviks adalah tumor ganas yang berasal dari sel epitel skuamosa. Kanker serviks merupakan kanker yang terjadi pada serviks atau leher rahim, suatu daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke arah rahim, letaknya antara rahim (uterus) dan liang senggama atau vagina (Notodiharjo, 2002). Kanker serviks biasanya menyerang wanita berusia 35-55 tahun. Sebanyak 90% dari kanker serviks berasal dari sel skuamosa yang melapisi serviks dan 10% sisanya berasal dari sel kelenjar penghasil lendir pada saluran servikal yang menuju ke rahim.
Kanker serviks merupakan kanker ginekologis yang menempati urutan kedua tersering setelah kanker payudara (Andrijono, 2004). Kanker serviks memiliki tingkat keganasan yang cukup tinggi dan menjadi penyebab kematian utama akibat kanker pada wanita di negara-negara berkembang (Fitriana, 2012).  Kanker serviks terjadi jika sel-sel serviks menjadi abnormal dan membelah secara tak terkendali (Rasjidi I, 2008). Penyakit ini disebabkan oleh Human Papilloma virus (HPV) yang ditularkan melalui hubungan seksual dan faktor resiko lain seperti perilaku seksual, kontrasepsi, nutrisi, dan rokok (Jong, 2004).
2.      Etiologi
Menurut Wilopo (2006), penyebab tersering kanker serviks adalah infeksi virus HPV. HPV adalah virus DNA yang menginfeksi sel-sel epitel (kulit dan mukosa). Infeksi HPV umumnya terjadi setelah wanita melakukan hubungan seksual dan umumnya terjadi pada usia sekitar 25 tahun. Selama hidupnya, hampir kebanyakkan wanita dan laki-laki pernah terkena infeksi HPV dan 80% dari wanita terkena infeksi sebelum umur 50 tahun. Sebagian infeksi HPV bersifat hilang timbul sehingga tidak terdeteksi dalam kurun waktu 2 tahun setelah infeksi. Hanya sebagian kecil saja dari infeksi tersebut menetap dalam jangka lama sehingga menimbulkan kerusakan lapisan lendir menjadi pra-kanker.
Lebih dari 80 tipe HPV telah ditemukan, dan sekitar 40 tipe dapat menginfeksi saluran genitalia. Tipe HPV yang menginfeksi saluran genitalia dapat dibedakan menjadi tipe risiko-rendah, yang banyak ditemukan pada penyakit kutil genitalis, dan tipe resiko-tinggi yang biasanya berasosiasi dengan kejadian karsinoma sekviks uteri. Adapun HPV ganitalis tipe risiko-tinggi adalah HPV tipe 16, 18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59, 68, 73, dan 82 yang dapat menimbulkan risiko tinggi terjadinya pra-kanker, yaitu menimbulkan kerusakan sel lendir luar menuju keganasan yaitu Cervical Intraephitelial Neoplasma atau disingkat CIN. Sedangkan HVP tipe 26, 53, dan 66 diduga karsinogenik (Munoz, 2003).
HPV tipe 16 mendominasi infeksi (50-60%) pada penderita kanker leher rahim disusul dengan tipe 18 (10-15%). Dari infeksi HPV sampai dengan terjadinya kanker memerlukan waktu cukup lama, yaitu hampir 20 tahun. Hanya sebagian kecil wanita pengidap HPV akan berubah statusnya menjadi fase pra-kanker. Apabila fase tersebut tidak segera diobati maka setelah beberapa tahun mengidap infeksi maka kondisi pra-kanker berubah menjadi kanker. Virus HPV tipe 16 dan 18 ini replikasi melalui sekuensi gen E6 dan E7 dengan mengode pembentukan protein-protein yang penting dalam replikasi virus. Onkoprotein dari E6 akan mengikat dan menjadikan gen penekan tumor (p53) menjadi tidak aktif, sedangkan onkoprotein E7 akan berikatan dan menjadikan produk gen retinoblastoma (pRb) menjadi tidak aktif (Wilopo, 2006).
3.      Distribusi dan Frekuensi
Wilayah ASEAN, insidens kanker serviks di Singapore sebesar 25,0 pada ras Cina; 17,8 pada ras Melayu; dan Thailand sebesar 23,7 per 100.000 penduduk. Insidens dan angka kematian kanker serviks menurun selama beberapa dekade terakhir di AS. Hal ini karena skrining Pap menjadi lebih populer dan lesi serviks pre-invasif lebih sering dideteksi daripada kanker invasif. Diperkirakan terdapat 3.700 kematian akibat kanker serviks pada 2006 (Rasjidi, 2009).
Kanker serviks mempunyai frekuensi relatif tertinggi (25,6%) di Indonesia. Menurut perkiraan Departemen Kesehatan, terdapat sekitar 100 kasus per 100 ribu penduduk atau 200 ribu kasus per tahunnya. Biasanya tanpa gejala pada stadium dini, tetapi jika ditemukan pada stadium dini, kanker leher rahim dapat disembuhkan dengan baik. Lebih dari 70% kasus yang datang ke rumah sakit ditemukan dalam keadaan lanjut (Bustan, 2007).
Di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, frekuensi kanker serviks sebesar 76,2% di antara kanker ginekologi. Terbanyak pasien datang pada stadium lanjut, yaitu stadium IIB-IVB, sebanyak 66,4%. Kasus dengan stadium IIIB, yaitu stadium dengan gangguan fungsi ginjal, sebanyak 37,3% atau lebih dari sepertiga kasus (Rasjidi, 2009).
4.      Faktor Risiko
Menurut Handayani dkk (2012), faktor resiko yang meyebabkan kanker serviks adalah:
a.       Riwayat kanker serviks dalam keluarga
Adanya anggota keluarga (ibu atau saudara perempuan) yang pernah menderita kanker serviks membuat seseorang memiliki resiko kanker serviks lebih besar 2-3 kali dibandingkan dengan orang yang tidak mempunyai riwayat kanker serviks di keluarganya. Hal ini disebabkan adanya kondisi kekurangmampuan melawan infeksi HPV yang diturunkan secara genetik.
b.      Kebiasaan Merokok
      Wanita yang memiliki kebiasaan merokok berisiko 2 kali lebih besar terkena kanker serviks dibanding yang tidak merokok. Rokok mengandung bahan karsinogen, yakni bahan kimia yang memacu terjadinya kanker. Selain itu merokok juga meurunkan daya tahan tubuh kita dalam memerangi virus HPV.
c.       Imunosupresi
Imunisupresi disebut juga menurunnya daya tahan tubuh. Daya tahan tubuh berperan penting dalam proses penghancuran sel-sel kanker serta menghambat pertumbuhan dan penyebarannya. Salah satu keadaan imunosupresi ditemui pada penderita AIDS. Wanita yang menderita AIDS memiliki resiko tinggi terkena infeksi HPV yang berkembang menjadi kanker serviks. Selain itu kondisi seperti ini juga bisa ditemui pada wanita yang mengkonsumsi obat penurun daya tahan tubuh, seperti wanita penderita auotoimun.



d.      Diet
Pola makan atau diet seseorang juga berpengaruh terhadap risiko kanker serviks. Wanita yang jarang mengkonsumsi buah dan sayur berisiko lebih tinggi menderita kanker serviks. Begitu juga dengan wanita obesitas atau kegemukan lebih cenderung terkena adenokarsinoma.
e.       Penggunaan Kontrasepsi Hormonal
  Penggunaan kontrasepsi hormonal selama 10 tahun dapat meningkatkan risiko hingga 2 kali lipat. Wanita yang berencana menggunakan alat kontrasepsi hendaknya berdiskusi dengan tenaga kesehatan sebelum memutuskan suatu metode kontrasepsi terutama wanita yang beresiko tinggi.
f.       Kehamilan Multiple atau Kehamilan lebih dari Tiga Kali
      Wanita yang pernah hamil selama 9 bulan sebanyak tiga kali atau lebih berisisko terkena kanker serviks lebih tinggi. Belum diketahui pasti penyebabnya tetapi ada beberapa dugaan kondisi ini dipengaruhi oleh perubahan hormonal sealam kehamilan yang berpotensi membuat wanita rentan terhadap virus HPV. Menurunnya daya tahan tubuh selama kehamilan juga memungkinkan adanya infeksi HPV dan pertumbuhan kanker.
g.      Usia Pertama Hamil atau Melakukan Hubungan Seksual
      Semakin muda usai pada saat hamil petama atau melakukan hubungan seksual, risiko terkena kanker srviks semakin meningkat. Wanita yang berusia 17 tahun atau kurang pada saat pertama hamil memiliki risiko menderita kanker serviks dua kali lipat dibanding wanita yang hamil pertama kali pada usai 25 tahun atau lebih.
h.      Kemiskinan
      Seseorang yang berpendapatan rendah akan memiliki lebih sedikit akses penegetahuan tentang kanker serviks. Begitupun kesempatan untuk melakukan tes pap smear sangat sedikit karena keterbatasan biaya. Mereka juga terpapar dengan kondisi sanitasi yang kurang baik.
i.        Kebiasaan Berganti Pasangan
      Sering berganti-ganti pasagan seksual dan jenis kegiatan seksual (anal atau oral seks) juga meningkatkan risiko menderita kanker serviks.



5.      Gejala
Menurut Irianto (2014), kanker serviks biasanya tidak menimbulkan gejala jika baru memasuki tahap prekanker. Gejala biasanya baru muncul ketika serviks yang abnormal berubah menjadi keganasan dan menyusup ke jaringan sekitarnya. Pada saat tersebut akan timbul gejala berukut :
a.       Perdarahan vagina yang abnormal, terutama diantara menstruasi, setelah melakukan hubungan seksual dan setelah menopouse.
b.      Menstruasi abnormal (lebih lama dan lebih banyak).
c.       Keputihan yang menetap, dengan cairan yang encer, berwarna pink, cokelat, mengandung darah atau hitam serta berbau busuk.
Ketiga keluhan di atas dapat juga dialami meskipun tidak menderita kanker serviks. Sebagai pencegahan, segera periksakan diri jika terjadi gejala di atas. Melakukan pap tindakan untuk mendeteksi kanker serviks lebih dini.
Jika kanker serviks sudah memasuki tahap stadium lanjut, akan timbul gejala :
a.       Nafsu makan berkurang, penurunan berat badan, kelelahan.
b.      Nyeri panggul, punggung atau tungkai.
c.       Dari vagina keluar air kemih atau tinja.
d.      Patah tulang (fraktur) (Irianto, 2014).
6.      Diagnosis
a.       Kolposkopi
Dokter menggunakan kolposkop untuk melihat leher rahim. Kolposkop menggunakan cahaya terang dan lensa pembesar untuk membuat jaringan lebih mudah dilihat. Alat ini tidak dimasukkan ke dalam vagina (Irianto, 2014).
b.      Pap Smear
Pap smear dilakukan dengan mengambil sel dari mulut rahim kemudian diperiksa di bawah mikroskop. Pada pemeriksaan biasanya dapat ditentukan apakah sel yang ada di mulut rahim masih normal, berubah menuju kanker, atau telah menuju sel kanker. Selain itu, infeksi dan inflamasi mulut rahim juga dapat ditentukan pada pemerikasaan ini. Metode ini juga disebut Pap Test atau Papanicolaou Smear (Bustan, 2007).



Menurut Irianto (2014), diagnosis kanker serviks ditegakkan berdasarkan geajala dan hasil pemeriksaan berikut :
·         Pap Smear. Pap smear dapat mendeteksi sampai 90% kasus kanker serviks secara akurat dengan biaya yang tidak terlalu mahal. Akibatnya angka kematian akibat kanker serviks menurun 50%.
·         Setiap wanita yang telah aktif secara seksual atau usianya telah mencapai 18 tahun sebaiknya menjalani pap smear secara teratur yaitu 1 kali per tahun. Jika selam 3 kali berturut-turut menunjukan hasil yang normal, pap smear bisa dilakukan 2-3 tahun.
·         Hasil pemeriksaan pap smear menunjukkan stadium dari kanker serviks :
1)      Normal.
2)      Displasia ringan (perubahan dini yang belum bersifat ganas).
3)      Displasia berat (perubahan lanjut yang belum bersifat ganas).
4)      Karsinoma in situ (kanker yang terbatas pada lapisan serviks paling luar).
5)      Kanker invasif (kanker telah menyebar ke lapisan serviks yang lebih dalam atau ke organ tubuh lainnya).
Jika pada pap smear ditemukan gambaran sel yang tidak normal maka akan dilakukan biopsi (pengambilan sedikit jaringan mulut rahim) untuk pemerisaan mikroskop lebih lanjut. Pemeriksaan biopsi berguna untuk mengkonfirmasi hasil pemeriksaan pap smear (Bustan, 2007).
c.       Biopsi
Biopsi merupakan metode diagnosis lanjutan dari pap smear. Biopsi dilakukan dengan mengambil jaringan pada mulut rahim. Lalu seorang ahli patologi memeriksa jaringan di bawah mikroskop untuk memeriksa adanya sel-sel abnormal (Irianto, 2014).
d.      Tes IVA
Tes Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) merupakan suatu metode pemeriksaan inspeksi visual yang dilakukan pada vagina dengan cairan asam asetat atau suatu metode pemeriksaan skrining deteksi kanker leher rahim secara sederhana melalui usap serviks dengan asam asetat 3-5%. Hasil positif pada lesi prakanker terlihat warna bercak putih disebut aceto white epithelium. Tindak lanjut IVA (+) yaitu biopsi. Beberapa kategori pemeriksaan IVA yang dapat digunakan yaitu, IVA negatif bila serviks normal, IVA radang yaitu serviks dengan radang (servisitis), atau kelainan jinak lainnya (polip serviks), IVA positif yaitu ditemukan bercak putih (aceto white epithelium). Kelompok ini yang menjadi sasaran temuan skrining kanker serviks dengan metode IVA karena temuan ini mengarah pada diagnosis serviks-pra kanker (dispalsia ringan-sedang-berat atau kanker serviks in situ). IVA kanker serviks pada tahap ini untuk upaya penurunan temuan stadium kanker serviks, dan bermanfaat bagi penurunan kematian akibat kanker serviks bila ditemukan masih pada stadium invasif dini (Juanda, 2015).
Metode pemeriksaan tes IVA merupakan suatu metode pemeriksaan kanker leher rahim secara praktis, murah, mudah dikerjakan, dan juga mempunyai akurasi hasil yang tinggi. Sehingga memungkinkan pelaksanaan tes IVA dilaksanakan secara masal dengan hasil cepat dan mendidik masyarakat. Namun, dalam pelaksanaannya metode ini masih sangat rendah (sekitar 5%) karena mengalami kendala seperti keengganan para perempuan diperiksa karena malu (Ropitasari, 2014).
e.       Tes Sciller
Pada pemeriksaan ini serviks diolesi dengan larutan yodium. Sel epitel serviks yang normal warnanya akan berubah menjadi cokelat karena terdapat glikogen, sedangkan sel yang abnormal warnanya menjadi putih kayu atau kuning dan mungkin menunjukkan leukoplakia (lesi putih) atau jaringan kanker (Irianto, 2014).
f.       Radiologi
Pemeriksaan radiologi direkomendasikan untuk mengevaluasi kandung kemih dan rektum yang meliputi sitoskopi,   pielogram   intravena   (IVP),   enema   barium,   dan   sigmoidoskopi.   Magnetic Resonance   Imaging   (MRI)   atau   scan   CT   abdomen   /   pelvis   digunakan   untuk   menilai penyebaran lokal dari tumor dan / atau terkenanya nodus limpa regional (Gale & charette, 1999).



g.      LEEP (Loop Electrical Excision Procedure)
LEEP merupakan eksisi jaringan lesi abnormal dan sekitarnya (bagian jaringan yang sehat) dengan menggunakan metal wire loops (alat kawat khusus beraliran listrik) (Ova et al, 2010).
7.      Prognosis
Angka kematian dalam 5 tahun (five year suvival rate) untuk kanker in situ 100%, infasif 75-90%, metatstasis 5-10%. Data RS Kanker Dharmasis, pasien yang menderita kanker serviks pada stadium lanjut (tahun 1993-1997) sebanyak 710 kasus baru. Sebesar 65% pasien datang pada stadium lanjut. Angka ketahanan hidup dalam dua tahun stadium lanjut tersebut berkisar 53,2% dan untuk stadium awal hampir 90% (Bustan, 2007).
Stadium kanker serviks menurut The International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO) dalam Rasjidi (2009) adalah:
1)      Stadium 0 : Karsinoma in situ (preinvasive carcinoma).
2)      Stadium I : Proses terbatas serviks walaupun ada perluasan ke korpus uteri.
·      IA     : Karsinoma mikroinvasif.
·      IAI    : Kedalaman invasi stroma tidak lebih dari 3 mm dan perluasan horizontal tidak lebih dari 7 mm.
·      IA2   : Kedalaman invasi stroma tidak lebih dari 3 mm dan tidak lebih dari 5 mm dan perluasan horizontal tidak lebih dari 7 mm atau kurang.
·      IB      : Secara klinis sudah diduga adanya tumor mikroskopik lebih dari IA2
·      IBI    : Secara klinis lesi berukuran 4 cm atau kurang pada dimensi terbesar.
·      IB2    : Secara klinis lesi berukuran lebih dari 4 cm pada dimensi terbesar.
3)      Stadium II : Tumor menyebar keluar dari serviks, tetapi tidak sampai dinding panggul atau sepertiga bawah vagina.
·      IIA    : Tanpa invasi parametrium.
·      IIB    : Dengan invasi parametrium.
4)      Stadium III : Tumor menyebar ke dinding panggul dan atau sepertiga bawah vagina yang menyebabkan hidronefrosis atau penurunan fungsi ginjal.
·      IIIA  : Tumor menyebar sepertiga bawah vagina tetapi tidak sampai ke dinding panggul.
5)      Stadium IVA : Tumor menginvasi mukosa buli-buli atau rektum dan keluar panggul.
6)      Stadium IVB : Metastase jauh.
8.      Pencegahan
Menurut Rasjidi (2009), pencegahan pada kanker serviks dibagi menjadi pencegahan primer, sekunder dan tersier:
a)      Pencegahan Primer
1)      Menunda Aktivitas Seksual
Menunda aktivitas seksual sampai usia 20 tahun dan berhubungan secara monogami akan mengurangi risiko kanker serviks secara signifikan.
2)      Penggunaan Kontrasepsi Barier
Dokter merekomendasikan kontrasepsi metode barier (kondom, diafragma, dan spermisida) yang berperan untuk proteksi terhadap agen virus. Penggunaan lateks lebih dianjurkan daripada kondom yang dibuat dari kulit kambing.
3)      Penggunaan Vaksinasi HPV
Vaksinasi HPV yang diberikan kepada pasien bisa mengurangi infeksi Human Papiloma Virus, karena mempunyai kemampuan proteksi >90%. Tujuan dari vaksin propilaktik dan vaksin pencegah adalah untuk mencegah perkembangan infeksi HPV dan rangkaian dari event yang mengarah ke kanker serviks.
b)      Pencegahan Sekunder
1)      Pencegahan Sekunder - Pasien dengan Risiko Sedang
Hasil tes Pap yang negatif sebanyak tiga kali berturut-turut dengan selisih waktu antar pemeriksaan satu tahun dan atas petunjuk dokter sangat dianjurkan. Untuk pasien (atau partner hubungan seksual yang level aktivitasnya tidak diketahui), dianjurkan untuk melakukan tes Pap tiap tahun.



2)      Pencegahan Sekunder - Pasien dengan Risiko Tinggi
Pasien yang memulai hubungan seksual saat usia <18 tahun dan wanita yang mempunyai banyak partner (multiple partner) seharusnya melakukan tes Pap tiap tahun.
c)      Pencegahan Tersier
1)      Pelayanan di Rumah Sakit (diagnosa dan pengobatan)
2)      Perawatan Palitatif
Perawatan paliatif adalah perawatan total dan aktif dari untuk penderita yang penyakitnya tidak lagi responsif terhadap pengobatan kuratif. Perawatan paliatif dilakukan sejak diagnosa ditegakkan sampai akhir hayat. Pelayanan paliatif pasien kanker adalah pelayanan terintegrasi oleh tim paliatif untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dan memberikan dukungan bagi keluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan dengan kondisi pasien dengan mencegah dan mengurangi penderitaan melalui identifikasi dini, penilaian yang seksama serta pengobatan nyeri dan masalah masalah lain, baik masalah fisik, psikososial dan spiritual, dan pelayanan masa duka cita bagi keluarga.
9.      Pengobatan
Pemilihan pengobatan untuk kanker serviks tergantung kepada lokasi dan ukuran tumor, stadium penyakit, usia keadaan umum penderita dan rencana penderita untuk hamil lagi (Irianto, 2014).
a.       Pembedahan
Pada karsinoma in situ (kanker yang terbatas pada lapisan serviks paling luar), seluruh kanker seringkali dapat diangkat dengan bantuan pisau bedah ataupun LEEP. Dengan pengobatan tersebut penderita masih bisa memiliki anak. Karena kanker bisa kembali kambuh, dianjurkan untuk menjalani pemeriksaan ulang dan pap smear setiap 3 bulan selama 1 tahun pertama dan selanjutnya setiap 6 bulan. Jika penderita tidak memiliki rencana untuk hamil lagi dianjurkan untuk menjalani histerektomi. Pada kanker invasif dilakuakan histerektomi dan pengankatan struktur disekitarnya (prosedur ini disebut histerektomi radikal) serta kelenjar getah bening. Sedangkan pada wanita muda yang ovariumnya masih normal dan masih berfungsi tidak diangkat.
b.      Terapi penyinaran (Radioterapi)
Terapi ini efektif untuk mengobati kanker invasif yang masih terbatas pada daerah panggul. Pada ardioterapi digunakan sianr berenergi tinggi untuk merusak sel-sel kanker dan menghentika pertumbuhannya.
c.       Kemoterapi
Jika kanker telah menyebar keluar panggul kadang dianjurkan untuk menjalani kemoterapi. Pada kemoterapi digunakan obat-obatan untuk membunuh sel kanker yang diberikan melalui intravena atau mulut. Obat anti kanker tersebut abtara lain cisplatin, cetiximab, 5-fluoromacil, docetaxe, metothrexate, paclitaxel, carboplatin, bleomycin, imiquimod.
d.      Terapi Biologis
Pada terapi biologis digunakan zat-zat untuk memperbaiki sistem kekebalan tubuh melawan penyakit. Terapi biologis dilakukan pada kanker yang telah menyebar ke bagian tubuh lainnya, yang paling sering digunakan adalah interferon yang bisa dikombinasikan dengan kemoterapi.
10.  Rehabilitasi
Rehabilitasi biasanya diarahkan pada individu yang telah positif menderita kanker serviks. Penderita yang menjadi cacat karena komplikasi penyakitnya atau karena pengobatan perlu direhabilitasi untuk mengembalikan bentuk dan / atau fungsi organ yang cacat itu supaya penderita dapat hidup dengan layak dan wajar di masyarakat. Rehabilitasi yang dapat dilakukan untuk penderita kanker serviks yang baru menjalani operasi contohnya seperti melakukan gerakan-gerakan untuk membantu mengembalikan fungsi gerak dan untuk mengurangi pembengkakan, bagi penderita yang mengalami alopesia (rambut gugur) akibat khemoterapi dan radioterapi bisa diatasi dengan memakai wig untuk sementara karena umumnya rambut akan tumbuh kembali (Rivai, 2012).




C.    KANKER PROSTAT
1.      Definisi
Prostat adalah kelenjar seks pada pria, terletak di bawah kandung kemih dan mengelilingi saluran kencing. Kanker prostat adalah penyakit kanker yang menyerang kelenjar prostat, dimana sel-sel kelenjar prostat tumbuh secara abnormal tak terkendali sehingga mendesak dan merusak jaringan sekitarnya (Mailana dkk, 2015). Kanker prostat dapat menjadi ganas, tumbuh sangat cepat, dan dapat menyebar ke organ tubuh lainnya di tubuh (metastasis). Selain itu, ada kanker prostat yang tumbuh secara perlahan yang dialami sebagian penderita kanker prostat sehingga pasiennya tidak merasakan gejala atau hanya merasakan gejala-gejala ringan. Kanker prostat merupakan salah satu jenis kanker yang paling sering terjadi pada laki-laki usia lanjut (Suryo, 2010).
2.      Etiologi
Jarang ditemukan angka kejadian keganasan prostat yang tinggi di dalam satu keluarga. Keganasan prostat sama dengan prostat normal, untuk pertumbuhan dan perkembangan bergantung pada hormon androgen. Hal ini tidak berarti bahwa karsinoma prostat disebabkan oleh hormon androgen. Banyak keganasan prostat sensitif terhadap hormon sehingga dapat digunakan pengobatan hormonal. Faktor kausal lingkungan tampak pada pengamatan penduduk AS keturunan Jepang yang generasi kedua dan ketiga tinggal di AS. Mereka mempunyai insiden karsinoma prostat yang sama dengan penduduk AS keturunan kulit putih, sedangkan penduduk Jepang yang tetap di Jepang mempunyai insiden yang lebih rendah (Sjamsuhidajat, 2011).
Data dari 13 Fakultas Kedokteran Negeri di Indonesia menunjukkan kanker prostat termasuk dalam 10 penyakit keganasan tersering pada pria. Secara umum kanker prostat dibagi menjadi dua golongan yaitu kanker yang masih terbatas dalam organ prostat (kanker dini), dan yang sudah menyebar keluar prostat baik ke organ sekitar maupun metastasis (penyebaran) jauh (kanker lanjut) (Widjaja, 2007).   
3.      Distribusi dan Frekuensi Penyakit
Kanker prostat merupakan tumor yang paling sering terjadi pada pria di Amerika Serikat. Sekitar 200.000 kasus baru didiagnosis setiap tahunnya. Kanker prostat menunjukkan morbiditas dan mortalitas yang sangat tinggi pada populasi pria di Amerika. Secara khusus kanker prostat ternyata lebih banyak diderita oleh bangsa Afro-Amerika yang berkulit hitam daripada bangsa kulit putih. Hal tersebut ditunjukkan dengan perbandingan bahwa 1 dari 9 pada kulit hitam di Amerika Utara akan menderita kanker prostat, sedangkan pada kulit putih di Amerika Utara hanya 1 dari 11 orang akan mengidap kanker prostat. Sedangkan di Asia sendiri masih terhitung rendah (Raini, 2005).
Di Indonesia data di bagian Sub bagian Urologi, bagian bedah FKUI, selama periode 1995-1998 ditemukan data-data 17 kasus per tahun. Data dari 13 Fakultas Kedokteran Negeri di Indonesia kanker prostat termasuk dalam 10 penyakit keganasan tersering pada pria dan menduduki peringkat ke 2 setelah kanker buli-buli (Raini, 2005). Prevalensi kanker prostat di Indonesia tahun 2013 adalah sebesar 0,2% atau diperkirakan sebanyak 25.012 penderita. Provinsi yang memiliki prevalensi kanker prostat tertinggi adalah Yogyakarta, Bali, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Selatan yaitu sebesar 0,5%. Estimasi jumlah absolut penderita kanker prostat di Sulawesi Utara adalah 601 penderita (Solang dkk, 2016).
4.       Faktor Risiko
Kanker prostat walaupun belum ditemukan faktor penyebab utamanya, tetap ada beberapa faktor risiko yang diyakini sebagi penyebab terjadinya kanker prostat:
a.       Usia
Semakin lanjut usia seorang pria, maka resiko mengalami kanker prostat akan meningkat. Pada usia 80 tahun sebanyak 60-70% pria memiliki gambaran histologi kanker prostat. (K.OH, William, et all, 2000).
b.      Hormon Testosteron
Testosteron adalah hormon pada pria yang dihasilkan oleh sel Leydig pada testis yang akan ditukar menjadi bentuk metabolit, berupa dihidrotestosteron (DHT) di organ prostat oleh enzim 5 - α reduktase. Beberapa teori menyimpulkan bahwa kanker prostat terjadi karena adanya peningkatan kadar testosteron pada pria, tetapi hal ini belum dapat dibuktikan secara ilmiah. Beberapa penelitian menemukan terjadinya penurunan kadar testosteron pada penderita kanker prostat. Selain itu, juga ditemukan peningkatan kadar DHT pada penderita prostat, tanpa diikuti dengan meningkatnya kadar testosteron. (Haas, G. P dan Wael A. S., 1997).



c.       Ras
Penderita prostat tertinggi ditemukan pada pria dengan ras Afrika–Amerika. Pria kulit hitam memiliki resiko 1,6 kali lebih besar untuk menderita kanker prostat dibandingkan dengan pria kulit putih (Moul, J. W., et al, 2005).
d.      Genetik
Resiko yang lebih besar bisa terjadi 2-3 kali lipat lebih besar pada pria yang satu generasi sebelumnya menderita kanker prostat (Crown, 2001).
e.       Pola Makan
Usia lanjut akan mengalami penurunan beberapa unsur esensial tubuh seperti kalsium (Ca) dan vitamin D.             Tetapi pola makan dengan Ca tinggi secara berlebihan dapat meningkatkan risiko kanker prostat pada usia lanjut (Rindiastuti, 2007).
f.       Gaya Hidup
Merokok dan minum alkohol ditengarai menjadi pemicu munculnya kanker prostat. Selain itu berganti-ganti pasangan juga membuka kesempatan terjadinya infeksi virus penyebab kanker yang ditularkan melalui hubungan kelamin (Suryo, 2010).
g.      Jenis Pekerjaan
Pekerjaan yang dihubungkan dengan bertambahnya kejadian kanker prostat adalah pertanian, pabrik pembuat lempeng logam, dan berbagai pekerjaan lain dengan pajanan terhadap kadmium (Mettlin dkk,1990).
5.      Gejala
Menurut Suryo (2010), Kanker prostat merupakan salah satu dari sepuluh penyakit yang paling sering menimpa pria. Sayangnya, para pria kerap tidak sadar dengan kehadiran penyakit ini sampai penyakit ini menyebar dan makin sulit disembuhkan. Beberapa tanda di bawah ini adalah gejala yang perlu di waspadai :
a.       Sulit berkemih
Gejala ini berupa perasaan ingin berkemih, tetapi tidak ada yang keluar, berhenti saat sedang berkemih, ada perasaan masih ingin berkemih, atau sering ke toilet untuk berkemih karena keluarnya sedikit-sedikit. Gejala ini terjadi akibat membesarnya kelanjar prostat yang ada di sekitar saluran kemih karena ada tumor di dalamnya sehingga mengganggu proses berkemih.
b.      Nyeri saat berkemih
Gejala nyeri saat berkemih tidak hanya salah satu gejala kanker prostat, tetapi bisa juga akibat adanya tumor prostat yang menekan saluran kemih. Namun, nyeri ini juga bisa merupakan gejala infeksi prostat yang disebut prostitis.
c.       Keluar darah saat berkemih
Gejala ini jarang terjadi, tetapi jangan diabaikan. Segeralah memeriksakan diri ke dokter meski darah yang dikeluarkan hanya sedikit, samar-samar, atau hanya berwarna merah muda.
d.      Sulit ereksi atau menahan ereksi
Tumor prostat bisa menyebabkan aliran aliran darah ke penis yang seharusnya meningkat saat terjadi ereksi menjadi terhalang sehingga susah ereksi. Bis juga menyebabkan tidak bisa ejakulasi setelah ereksi.
e.       Sulit buang air besar dan ada masalah saluran pencernaan lainnya
Sulit buang air besar yang terus-menerus terjadi bisa menyebabkan pembesaran prostat karena terjadi tekanan pada kelenjar secara terus-menerus.
f.       Nyeri terus-menerus di punggung bawah, panggul, atau paha dalam bagian atas
Sering kali kanker prostat menyebar di wilayah-wilayah ini, yaitu pada punggung bawah, panggul, dan pinggul sehingga nyeri yang sulit dijelaskan di bagian ini bisa menjadi tanda adanya gangguan.
g.      Sering berkemih pada malam hari
Jika anda sering terbangun pada malam hari lebih dari sekali hanya untuk berkemih, segera periksalah diri anda ke dokter karena bisa saja hal tersebut merupakan gejala kanker prostat.
h.      Urin menetes atau tidak cukup kuat
Urin tidak dapat ditahan hingga perlahan-lahan keluar dan menetes, atau kalaupun keluar alirannya tidak cukup kuat.   
Tahap awal (early stage) yang mengalami kanker prostat umumnya tidak menunjukkan gejala klinis atau asimptomatik. Pada tahap berikutnya (locally advanced) didapati obstruksi sebagai gejala yang paling sering ditemukan. Biasanya ditemukan juga hematuria yakni urin yang mengandung darah, infeksi saluran kemih, serta rasa nyeri saat berkemih. Pada tahap lanjut (advanced) penderita yang telah mengalami metastase di tulang sering mengeluh sakit tulang dan sangat jarang mengalami kelemahan tungkai maupun kelumpuhan tungkai karena kompresi korda spinalis.
6.      Diagnosis
Diagnosis kanker prostat saat ini ditetapkan melalui Digital Rectal Examination (DRE), pengukuran kadar Prostate - Specific Antigen (PSA) dan biopsi prostat Trans-Rectal Ultrasonography (TRUS). Pemeriksaan kadar PSA digunakan sebagai petanda kanker prostat diagnosis awal, pemantauan respons pengobatan dan memperkirakan hasil akhirnya. Namun pemeriksaan kadar PSA sebagai penanda kanker prostat memiliki nilai kepekaan yang rendah. Kadar PSA dapat meningkat pula pada keadaan bukan kanker seperti Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) dan prostatitis. Hal tersebut menyebabkan kegunaan pemeriksaan kadar PSA untuk penanda dini kanker prostat masih diperdebatkan, oleh karena itu diperlukan petanda baru kanker prostat untuk mengatasi kelemahan diagnostik tersebut (Yulius dkk, 2014).
Diagnosis kanker prostat ditentukan pada pemeriksaan colok dubur terdapat perabaan bagian kelenjar prostat yang keras, bernodul, tidak rata atau asimetri, dengan pemeriksaan patologik, Ultra sonografi transrectal, dan adanya peningkatan kadar PSA (Chodidjah, 2009).
Menurut Bose (2005), mendapatkan penanda baru yaitu protein Engrailed-2 (EN2) untuk kanker prostat. Pemeriksaan protein EN2 untuk mendeteksi kanker prostat memiliki kelebihan antara lain pengerjaannya mudah, dan tidak bersifat invasif, karena bahan periksaan ialah air kemih. Protein EN2 dalam air kemih stabil selama empat hari bila disimpan pada suhu ruang.
7.      Prognosis
Pemeriksaan klinis serta score Gleason maupun TNM sangat diperlukan dalam menentukan perkembangan satu jenis pengobatan yang sesuai terhadap suatu individu. Strategi pengobatan bervariasi dari individu yang satu terhadap individu yang lainnya. Prognosis kanker prostat tergantung pada jangkauan penyakit, kondisi kesehatan individu serta respon suatu individu terhadap pengobatan yang diberikan. Harapan hidup untuk penderita kanker prostat berhubungan dengan stadium penyakit : stadium A 87%, Stadium B 81%, Stadium C 64%, Stadium D 30% (Sjamsuhidajat, 2011).
Indikator terpenting dalam menentukan prognosis kanker prostat berdasarkan derajat diferensiasi sel, ukuran tumor,dan timbulnya penetrasi kapsul. Untuk stadium A berdiferensiasi baik, tanpa metastasis dapat hidup lama, Bila lesi luas surviver 5 tahun dapat mencapai sekitar 85%. Pasien stadium B 20-25% dengan metastasis kelenjar limfe, surviver 5 tahun menurun jelas. Stadium C dan D terapi estrogen kastrasi (Orkidektomi) efektifitas sekitar 60-80% (Willie, 2008).
8.      Pencegahan
a.       Tidak Merokok
Kebiasaan merokok memperbesar bahaya kanker prostat yang terjadi akibat ada senyawa karsinogen kadmium yang terkandung dalam asap rokok. Pada penelitian ini kebiasaan merokok didapatkan di kelompok biopsi positif maupun negatif, sehingga perlu dipantau yang ketat. Karena kemungkinan kelompok biopsi negatif dapat menjadi positif untuk kanker prostat dalam beberapa masa waktu ke depan (Yulius, dkk, 2014).
b.      Manggis
Manggis berasal dari famili Clusiaceae. Pohon manggis banyak tumbuh di daerah tropis terutama di Indonesia. Xanthones yang terkandung dalam ekstrak kulit manggis seperti α-mangostin, β-mangostin, γ-mangostin, garcinone E, dan gartanin, memiliki penerimaan yang sangat mendalam pada pencegahan kanker. Kandungan a-mangostin pada manggis dapat pula menekan pertumbuhan sel kanker pada prostat dengan menginduksi terjadinya apoptosis serta menghambat proliferasi, menariknya a-mangostin hanya bekerja aktif pada sel-sel kanker tanpa mempengaruhi sel-sel epitel prostat (Witantri,dkk, 2015).
c.       Konsumsi Kedelai
Kedelai mengandung protein dan phytoestrogen, telah diidentifikasi sebagai komponen makanan yang mungkin memainkan peran penting dalam mengurangi insiden dari PCa. Dalam kedelai, isoflavon utama berkorelasi dengan PCa yaitu genistein dan biochanin-A. Genistein telah menunjukkan ampuh efek anti-proliferasi pada berbagai kanker. Menurut analisis Meta dari dua Studi termasuk pria dengan risiko yang diidentifikasi dari kanker prostat ditemukan penurunan yang signifikan dalam diagnosis PCa setelah pemberian kedelai isoflavon (RR = 0,49, 95% CI 0,26, 0,95) (Perdana, dkk, 2016).
d.      Teh hijau
Berdasarkan data epidemiologi kejadian dari Pca sangat rendah di negara-negara Asia Timur di mana teh hijau menjadi minuman yang sangat dikonsumsi. Ini dapat dijelaskan oleh sebagian fakta bahwa konsumsi polifenol teh hijau yang mengandung salah satu catechin yang disebut epigallocatechin-3-gallate (EGCG) yang memiliki efek kemopreventif di PCa models eksperimental (Perdana, dkk, 2016).
9.      Pengobatan
Pemilihan pengobatan tergantung pada usia, kondisi medis umum, harapan hidup, seberapa cepat tumbuh dan berapa banyak kanker telah menyebar, dan manfaat serta kemungkinan efek samping pengobatan (Yudha, 2014). Kanker prostat lokal ditandai dengan tumor terbatas dalam kapsul prostat (T1 atau T2). Sedangkan pada kanker prostat lokal lanjut, tumor telah menginfiltrasi kapsul atau organ yang ada di sekitarnya (T3 dan T4) (Irdam, dkk, 2015).
a.       Prostatektomi Radikal
Pengobatan prostatektomi radikal adalah penderita dengan tumor terlokalisir (T1-T2) dengan harapan hidup saat diagnosis > 10 tahun, umumnya usia maksimal 75 tahun, sudah tentu sebelum memilih pengobatan ini harus dicari dan dipertimbangkan adanya komorbiditas yang dapat menyulitkan saat operasi atau memperburuk keadaan penderita setelah tindakan pembedahan (Yudha, 2014).
b.      Terapi Hormonal
Terapi hormonal diberikan melalui 2 cara, yaitu tindakan bedah (orkidektomi bilateral) atau pemberian LHRH agonist (leuprolide atau goserelin) yang diberikan secara terus menerus maupun intermiten. Terapi hormonal lebih menjadi pilihan untuk tumor high grade (53,8%). Pada studi-studi mengenai kanker prostat lokal lanjut, tindakan prostatektomi radikal saja jarang ditemukan. Sebagian besar tindakan ini dikombinasikan dengan terapi hormonal untuk menghasilkan angka bebas penyakit yang lebih baik. Terapi hormonal primer lebih menjadi pilihan dibanding tindakan prostatektomi radikal dan radioterapi pada pasien kanker prostat di atas 75 tahun. Seiring bertambahnya usia, terapi agresif semakin ditinggalkan dengan mempertimbangan harapan hidup yang semakin singkat dan optimalisasi kualitas hidup di sisa usianya, terapi hormonal lebih menjadi pilihan untuk kelompok tumor high grade.
c.       Radioterapi
Radioterapi merupakan alternatif tindakan prostatektomi radikal pada kasus kanker prostat lokal dan merupakan pilihan utama untuk pasien yang menolak operasi, pasien dengan toleransi operasi yang buruk, dan angka harapan hidup kurang dari 10 tahun. Terdapat beberapa metode untuk meningkatkan efektivitas terapi yang telah dikembangkan belakangan ini, seperti meningkatkan dosis radioterapi melalui optimalisasi alat atau dengan mengombinasikan terapi dengan terapi hormonal. Untuk kanker prostat lokal lanjut, radioterapi dilakukan secara kombinasi dengan terapi hormonal. Berdasarkan kelompok usia subjek, radioterapi menjadi pilihan utama untuk kelompok usia 66-70 tahun dan penggunaannya semakin menurun seiring usia yang bertambah. Radioterapi menjadi pilihan utama untuk kelompok tumor low-moderate grade (Irdam, dkk, 2015).
d.      Kemoterapi
Kemoterapi adalah salah satu upaya pengobatan kanker dengan cara memberikan suatu zat atau obat yang berfungsi dan mempunyai khasiat untuk membunuh sel-sel kanker. Pengobatan dengan kemoterapi berdasarkan pada eliminasi sel-sel kanker dengan sedikit mungkin memberikan efek yang merugikan terhadap jaringan normal. Dengan pemberian kemoradioterapi, akan semakin banyak sel-sel kanker yang mati. Sel-sel kanker yang mati akan hancur, dibawa oleh darah dan dieksresi keluar dari tubuh. Sebagian besar sel-sel sehat akan bisa pulih kembali dari pengaruh radiasi (Kisnanto, dkk, 2016).
10.  Rehabilitasi
a.       Isu Psikososial
Gangguan distress psikologi merupakan gejala yang paling sering ditemuisetelah gejala kanker telah ditegakkan, edukasi dan support dari timonkologist merupakan hal yang penting untung menghilangkan rasaketakutan dan mampu beradaptasi dengan baik.
b.      Kesehatan dan Fungsi Seksual
Problem seksual merupakan masalah yang sering ditemui pada populasi dan bisa semakin parah apabila seseorang tersebut didiagnosis kanker.
c.       Efek Toksik
Adanya rehabilitasi dapat meminimalisir rasa takut akan pengaruh pengobatan.

D.    KANKER PARU
1.      Definisi
Kanker paru adalah neoplasma ganas yang muncul dari epitel bronkus (Brashers Valentina L., 2008: 113). Kanker paru (bronchogenic carcinoma) adalah penyakit yang ditandai dengan tidak terkendalinya pertumbuhan sel dalam jaringan paru, terutama sel-sel yang melapisi bagian pernapasan (Atiyeh Hashemi, dkk, 2013: 165).
Kanker paru adalah penyebab utama kematian terkait penyakit kanker di Amerika Serikat dan seluruh dunia. Pada 2011, diperkirakan 156.900 kematian (85.600 pada pria, 71.300 pada wanita) dari kanker paru yang terjadi di Amerika Serikat. Tingkat ketahanan hidup selama lima tahun untuk kanker paru hanya sekitar 15,6% sebagian karena kebanyakan pasien telah memiliki kanker paru stadium lanjut pada saat diagnosa awal. Kanker paru-paru adalah jenis yang paling sering kedua kanker di Denmark dan sekitar 4500 orang didiagnosis setiap tahunnya (Cancerregistret, 2012). Kanker paru-paru dibagi menjadi kanker kecil paru-paru sel dan kanker paru-paru non-sel kecil (NSCLC); hingga 90% dari kasus kanker disebabkan oleh rokok (Petri, 2015).
Kanker paru diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu kanker paru primer dan kanker paru sekunder. Kanker paru primer adalah sel kanker yang berasal dari paru, sedangkan kanker paru sekunder adalah sel kanker yang menyebar dari anggota tubuh lain, termasuk kanker payudara dan kanker usus (Sungging Haryo W., dkk, 2011: 46).
a.       Kanker paru-paru primer, memiliki 2 tipe utama, yaitu Small cell lung cancer (SCLC) dan Non-small cell lung cancer (NSCLC). SCLC adalah jenis sel yang kecil-kecil (banyak) dimana memiliki daya pertumbuhan yang sangat cepat hingga membesar. Biasanya disebut “oat cell carcinomas” (karsinoma sel gandum). Tipe ini sangat erat kaitannya dengan perokok. Penanganan cukup berespon baik melalui tindakan chemotherapy and radiation therapy. Sedangkan NSCLC merupakan pertumbuhan sel tunggal, tetapi seringkali menyerang lebih dari satu daerah di paru-paru. Misalnya Adenoma, Hamartoma kondromatous dan Sarkoma.
b.      Kanker paru sekunder, merupakan penyakit kanker paru yang timbul sebagai dampak penyebaran kanker dari bagian organ tubuh lainnya, yang paling sering adalah kanker payudara dan kanker usus (perut). Kanker menyebar melalui darah, sistem limpa atau karena kedekatan organ (Kusumayunito, 2012).
2.      Etiologi
Seperti umumnya kanker yang lain, penyebab yang pasti dari kanker paru belum diketahui, tapi paparan atau inhalasi berkepanjangan suatu zat yang bersifat karsinogenik merupakan faktor penyebab utama disamping adanya faktor lain seperti kekebalan tubuh, genetik, dan lain-lain (Amin, 2006). Penyebab dari kanker paru adalah polusi udara, paparan terhadap arsen, asbestos, radon, chloromethyl ethers, chromium, mustard gas, penghalusan nikel, hidrokarbon polisiklik, beryllium, cadmium, dan vinyl chloride. Insidensi kanker paru yang lebih tinggi juga ditemukan pada industri-industri gas-batu bara, proses penghalusan logam. Predisposisi genetik juga memegang peranan dalam etiologi kanker paru (Shah, 2007). WHO tahun 2013 melaporkan, bahwa ada 3 kelompok karsinogen penyebab kanker paru yaitu karsinogen fisik berupa sinar ultraviolet dan radiasi ion, karsinogen kimia berupa asbestos, aflatoksin dan arsen; serta karsinogen biologi yaitu infeksi virus,bakteri,atau parasit. Pemakaian tembakau, alkohol, diet tidak sehat, dan kurangnya aktivitas fisik dapat sebagai pemicu timbulnya kanker paru.
3.      Distribusi dan Frekuensi
Kanker paru merupakan salah satu jenis kanker yang mempunyai tingkat insidensi yang tinggi di dunia. Sekitar 90%, kanker paru diperkirakan 1 dari 10 perokok sedang dan 1 dari 5 perokok berat akan meninggal akibat kanker paru; Sekitar 80% kasus kanker esofagus karena rokok kematian akibat kanker paru-paru yang disebabkan oleh rokok diperkirakan berkisar lebih dari 80% (Fatonah, 2016). Menurut World Health Organization (WHO) insidens kanker paru pada tahun 2008 tercatat 13% (1,6 juta) dari total kasus keganasan dan menyebabkan kematian pada 18% (1,4 juta) orang. Insidens kanker paru pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan. Hal ini disebabkan lebih banyak laki-laki yang mengonsumsi rokok. Merokok merupakan penyebab utama kanker paru karena di dalam rokok terkandung zat-zat karsinogen yang dapat memicu kanker paru. Menurut data CDC di Amerika pada tahun 2007 tercatat 109.643 laki-lakidan 93.839 perempuan menderita kanker paru (Haryati, dkk, 2013).
4.      Faktor Risiko
Seperti kanker pada umumnya, penyebab yang pasti dari kanker paru belum diketahui, tapi paparan atau inhalasi berkepanjangan suatu zat yang bersifat karsinogenik merupakan faktor penyebab utama disamping adanya faktor lain seperti kekebalan tubuh, genetik, dan lain-lain (Amin, 2006).
Di bawah ini diuraikan mengenai faktor risiko penyebab terjadinya kanker paru :
a.       Merokok
Merokok merupakan faktor yang berperan paling penting, yaitu 85% dari seluruh kasus (Wilson, 2005). Rokok mengandung lebih dari 4000 bahan kimia, diantaranya telah diidentifikasi dapat menyebabkan kanker. Kejadian kanker paru pada perokok dipengaruhi oleh usia mulai merokok, jumlah batang rokok yang diisap setiap hari, lamanya kebiasaan merokok, dan lamanya berhenti merokok (Stoppler, 2010).
b.      Perokok pasif
Semakin banyak orang yang tertarik dengan hubungan antara perokok pasif, atau mengisap asap rokok yang ditemukan oleh orang lain di dalam ruang tertutup, dengan risiko terjadinya kanker paru. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa pada orang-orang yang tidak merokok, tetapi mengisap asap dari orang lain, risiko mendapat kanker paru meningkat dua kali (Wilson, 2005). Diduga ada 3.000 kematian akibat kanker paru tiap tahun di Amerika Serikat terjadi pada perokok pasif (Stoppler, 2010).
c.       Polusi udara
Kematian akibat kanker paru juga berkaitan dengan polusi udara, tetapi pengaruhnya kecil bila dibandingkan dengan merokok kretek. Kematian akibat kanker paru jumlahnya dua kali lebih banyak di daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah pedesaan. Bukti statistik juga menyatakan bahwa penyakit ini lebih sering ditemukan pada masyarakat dengan kelas tingkat sosial ekonomi yang paling rendah dan berkurang pada mereka dengan kelas yang lebih tinggi. Hal ini, sebagian dapat dijelaskan dari kenyataan bahwa kelompok sosial ekonomi yang lebih rendah cenderung hidup lebih dekat dengan tempat pekerjaan mereka, tempat udara kemungkinan besar lebih tercemar oleh polusi. Suatu karsinogen yang ditemukan dalam udara polusi (juga ditemukan pada asap rokok) adalah 3,4 benzpiren (Wilson, 2005).
d.      Paparan zat karsinogen
Beberapa zat karsinogen seperti asbestos, uranium, radon, arsen, kromium, nikel, polisiklik hidrokarbon, dan vinil klorida dapat menyebabkan kanker paru (Amin, 2006). Risiko kanker paru di antara pekerja yang menangani asbes kira-kira sepuluh kali lebih besar daripada masyarakat umum. Risiko kanker paru baik akibat kontak dengan asbes maupun uranium meningkat kalau orang tersebut juga merokok.
e.       Jenis Kelamin
Hasil penelitian mengenai distribusi jenis kelamin penderita kanker paru menunjukkan bahwa sebagian besar penderita kanker paru adalah laki-laki, yaitu 98 orang (73,13%). Perbandingan antara laki-laki dan perempuan cukup signifikan yaitu 3:1 Menurut teori, perbandingan yang cukup signifikan antara laki-laki dan perempuan disebabkan karena laki-laki mempunyai kebiasaan merokok.
f.       Diet
Beberapa penelitian melaporkan bahwa rendahnya konsumsi terhadap betakarotene, selenium, dan vitamin A menyebabkan tingginya risiko terkena kanker paru (Amin, 2006).
g.      Genetik
Terdapat bukti bahwa anggota keluarga pasien kanker paru berisiko lebih besar terkena penyakit ini. Penelitian sitogenik dan genetik molekuler memperlihatkan bahwa mutasi pada protoonkogen dan gen-gen penekan tumor memiliki arti penting dalam timbul dan berkembangnya kanker paru. Tujuan khususnya adalah pengaktifan onkogen (termasuk juga gen-gen K-ras dan myc) Universitas Sumatera Utara dan menonaktifkan gen-gen penekan tumor (termasuk gen rb, p53, dan CDKN2) (Wilson, 2005).



h.      Penyakit Paru
Penyakit paru seperti tuberkulosis dan penyakit paru obstruktif kronik juga dapat menjadi risiko kanker paru. Seseorang dengan penyakit paru obstruktif kronik berisiko empat sampai enam kali lebih besar terkena kanker paru ketika efek dari merokok dihilangkan (Stoppler, 2010).
5.      Gejala
Gambaran klinis penyakit kanker paru tidak banyak berbeda dari penyakit paru lainnya, terdiri atas keluhan subjektif dan gejala objektif. Keluhan utama dapat berupa:
a.       batuk-batuk dengan / tanpa dahak
b.      batuk darah
c.       sesak napas
d.      suara serak
e.       sakit dada
f.       sulit atau sakit menelan
g.      benjolan di pangkal leher
h.      sembab muka dan leher, kadang-kadang disertai sembab lengan dengan rasa nyeri yang hebat.
Tidak jarang yang pertama terlihat adalah gejala atau keluhan akibat metastasis di luar paru, seperti kelainan yang timbul karena kompresi hebat di otak, pembesaran hepar atau patah tulang kaki. Adapun gejala dan keluhan yang tidak khas antara lain:
a.       berat badan berkurang
b.      nafsu makan hilang
c.       demam hilang timbul
d.      sindrom paraneoplastik, thrombosis vena perifer, dan neuropatia (Andiani, 2015).
6.      Diagnosis
a.       Anamnesis
Anamnesis yang lengkap serta pemeriksaan fisik merupakan kunci untuk diagnosis tepat. Keluhan dan gejala klinis permulaan merupakan tanda awal penyakit kanker paru. Batuk disertai dahak yang banyak dan kadang-kadang bercampur darah, sesak nafas dengan suara pernafasan nyaring (wheezing), nyeri dada, lemah, berat badan menurun, dan anoreksia merupakan keadaan yang mendukung. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan pada pasien tersangka kanker paru adalah faktor usia, jenis kelamin, keniasaan merokok, dan terpapar zat karsinogen yang dapat menyebabkan nodul soliter paru.
b.      Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menemukan kelainan-kelainan berupa perubahan bentuk dinding toraks dan trakea, pembesaran kelenjar getah bening dan tanda-tanda obstruksi parsial, infiltrat dan pleuritis dengan cairan pleura.
c.        Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk menilai seberapa jauh kerusakan yang ditimbulkan oleh kanker paru baik itu pada kerusakan organ-organ lain maupun kerusakan jaringan tubuh akibat tumor primernya maupun metastasis. Kerusakan pada paru dapat dinilai dengan pemeriksaan faal paru atau pemeriksaan analisis gas.
d.      Radiologi
Kanker paru memiliki gambaran radiologi yang bervariasi. Pemeriksaan ini dilakukan untuk menentukan keganasan tumor dengan melihat ukuran tumor, kelenjar getah bening, dan metastasis ke organ lain. Pemeriksaan radiologi dapat dilakukan dengan metode tomografi komputer. Pada pemeriksaan tomografi komputer dapat dilihat hubungan kanker paru dengan dinding toraks, bronkus, dan pembuluh darah secara jelas. Keuntungan tomografi komputer tidak hanya memperlihatkan bronkus, tetapi juga struktur di sekitar lesi serta invasi tumor ke dinding toraks. Tomografi komputer juga mempunyai resolusi yang lebih tinggi, dapat mendeteksi lesi kecil dan tumor yang tersembunyi oleh struktur normal yang berdekatan.
e.        Sitologi
Sitologi merupakan metode pemeriksaan kanker paru yang mempunyai nilai diagnostik yang tinggi dengan komplikasi yang rendah. Pemeriksaan dilakukan dengan mempelajari sel pada jaringan. Pemeriksaan sitologi dapat menunjukkan gambaran perubahan sel, baik pada stadium prakanker maupun kanker. Selain itu dapat juga menunjukkan proses dan sebab peradangan. Pemeriksaan sputum adalah salah satu teknik pemeriksaan yang dipakai untuk mendapatkan bahan sitologik. Pemeriksaan sputum adalah pemeriksaan yang paling sederhana dan murah untuk mendeteksi kanker paru stadium preinvasif maupun invasif. Pemeriksaan ini akan memberi hasil yang baik terutama untuk kanker paru yang letaknya sentral. Pemeriksaan ini juga sering digunakan untuk skrining terhadap kanker paru pada golongan risiko tinggi.
f.        Bronkoskopi
Setiap pasien yang dicurigai menderita tumor bronkus merupakan indikasi untuk bronkoskopi. Dengan menggunakan bronkoskop fiber optik, perubahan mikroskopik mukosa bronkus dapat dilihat berupa nodul atau gumpalan daging. Bronkoskopi akan lebih mudah dilakukan pada tumor yang letaknya di sentral. Tumor yang letaknya di perifer sulit dicapai oleh ujung bronkoskop.
g.       Biopsi Transtorakal
Biopsi aspirasi jarum halus transtorakal banyak digunakan untuk mendiagnosis tumor pada paru terutama yang terletak di perifer. Dalam hal ini diperlukan peranan radiologi untuk menentukan ukuran dan letak, juga menuntun jarum mencapai massa tumor. Penentuan letak tumor bertujuan untuk memilih titik insersi jarum di dinding kulit toraks yang berdekatan dengan tumor.
h.       Torakoskopi
Torakoskopi adalah cara lain untuk mendapatkan bahan guna pemeriksaan histopatologik untuk kanker paru. Torakoskopi adalah pemeriksaan dengan alat torakoskop yang ditusukkan dari kulit dada ke dalam rongga dada untuk melihat dan mengambil sebahagian jaringan paru yang tampak. Pengambilan jaringan dapat juga dilakukan secara langsung ke dalam paru dengan menusukkan jarum yang lebih panjang dari jarum suntik biasa kemudian dilakukan pengisapan jaringan tumor yang ada (Soeroso, 1992).
7.      Prognosis
Yang terpenting pada prognosis kanker paru adalah menentukan stadium penyakit. Pada kasus kanker paru jenis NSCLC yang dilakukan tindakan pembedahan, kemungkinan hidup 5 tahun adalah 30%. Pada karsinoma in situ, kemampuan hidup setelah dilakukan pembedahan adalah 70%, pada stadium I, sebesar 35-40% pada stadium II, sebesar 10-15% pada stadium III, dan kurang dari 10% pada stadium IV. Sedangkan pada kasus SCLC (Small cell lung cancer), kemungkinan hidup rata-rata adalah 1-2 tahun pasca pengobatan. Sedangkan ketahanan hidup SCLC tanpa terapi hanya 3-5 bulan. Walaupun begitu, angka harapan hidup 5 tahun untuk semua stadium hanya 15%. Angka ketahanan sebesar 49% untuk kasus yang dideteksi ketika penyakit masih bersifat lokal, tetapi hanya 16% kanker paru yang didiagnosis pada stadium dini (American Cancer Society, 2008).
Stadium pada kanker paru diantaranya (Tim CancerHelps, 2010: 67-68):
a.       Tahap tersembunyi: tahap ditemukannya sel kanker pada dahak (sputum) pasien di dalam sampel air saat bronkoskopi, tetapi tumor tersebut tidak dapat terlihat di dalam paru.
b.      Stadium 0: tahap ditemukannya sel-sel kanker hanya pada lapisan terdalam paru dan tidak bersifat invasif. Tumor pada tahap 0 disebut juga carcinoma in situ.
c.       Stadium I : tahap kanker yang hanya ditemukan pada paru dan belum menyebar ke kelenjar getah bening sekitarnya
d.       Stadium II : tahap kanker yang ditemukan pada paru dan kelenjar getah bening di dekatnya.
e.       Stadium III : tahap kanker yang telah menyebar ke daerah di sekitarnya, seperti dinding dada, diafragma, pembuluh besar atau kelenjar getah bening di sisi yang sama atau sisi berlawanan dari tumor tersebut
Kanker paru stadium III dibagi menjadi dua, yaitu :
1)      Stadium IIIA : kanker telah menyebar ke kelenjar getah bening di dada bagian tengah, di sisi yang sama di mana kanker bermula.
2)      Stadium IIIB : kanker telah menyebar ke kelenjar getah bening di sisi dada yang lainnya.
f.       Stadium IV : tahap kanker yang ditemukan lebih dari satu lobus paru yang sama atau di paru yang lain. Sel-sel kanker telah menyebar juga ke organ tubuh lainnya, misalnya ke otak, kelenjar adrenalin, hati, dan tulang. Tahap kanker pada stadium IV tidak dapat dihilangkan dengan operasi atau pembedahan.



8.      Pencegahan
Ada beberapa cara untuk melakukan pencegahan terhadap kanker paru-paru, antara lain:
a.       Menghindari Rokok dan Asapnya
Penelitian tentang rokok mengatakan bahwa lebih dari 63 jenis bahan yang dikandung asap rokok itu bersifat karsinogenesis. Secara epidemiologic juga terlihat kaitan kuat antara kebiasaan rokok dengan insidens kanker paru. Oleh karena itu, menghindarkan asap rokok adalah kunci keberhasilan pencegahan yang dapat dilakukan. Keterkaitan rokok dengan kanker paru diperkuat dengan data bahwa risiko seorang perempuan perokok pasif akan terkena kanker paru lebih tinggi daripada mereka yang tidak terpajan kepada asap rokok. Dengan dasar penemuan di atas adalah wajar bahwa pencegahan utama kanker paru berupa upaya memberantas kebiasaan merokok. Menghentikan seseorang perokok aktif adalah sekaligus menyelamatkan lebih dari seorang perokok pasif (Andiani, 2015).
b.      Perhatikan Makanan
Diet adalah salah satu pendekatan yang baik untuk pencegahan kanker paru paru. Berhubungan dengan kelebihan berat badan, memiliki badan yang normal akan jauh dari resiko terkena kanker termasuk didalamnya adalah kanker paru-paru.
c.       Melakukan pemeriksaan kesehatan
Melakukan tes kesehatan secara rutin akan membantu melihat perkembangan paru-paru, karena sebagian besar kanker paru-paru didapati terdeteksi secara tidak sengaja.
9.      Pengobatan
a.       Pembedahan
Pembedahan pada kanker paru bertujuan untuk mengangkat tumor secara total berikut kelenjar getah bening disekitarnya. Hal ini biasanya dilakukan pada kanker paru yang tumbuh terbatas pada paru yaitu stadium I (T1 N0 M0 atau T2 N0 M0), kecuali pada kanker paru jenis SCLC. Luas reseksi atau pembedahan tergantung pada luasnya pertumbuhan tumor di paru. Pembedahan dapat juga dilakukan pada stadium lanjut, akan tetapi lebih bersifat paliatif. Pembedahan paliatif mereduksi tumor agar radioterapi dan kemoterapi lebih efektif, dengan demikian kualitas hidup penderita kanker paru dapat menjadi lebih baik. Pembedahan untuk mengobati kanker paru dapat dilakukan dengan cara:
1)      Wedge Resection, yaitu melakukan pengangkatan bagian paru yang berisi tumor, bersamaan dengan margin jaringan normal.
2)      Lobectomy, yaitu pengangkatan keseluruhan lobus dari satu paru.
3)      Pneumonectomy, yaitu pengangkatan paru secara keseluruhan. Hal ini dilakukan jika diperlukan dan jika pasien memang sanggup bernafas dengan satu paru.
b.      Radioterapi
Radioterapi dapat digunakan untuk tujuan pengobatan pada kanker paru dengan tumor yang tumbuh terbatas pada paru. Radioterapi dapat dilakukan pada NCLC stadium awal atau karena kondisi tertentu tidak dapat dilakukan pembedahan, misalnya tumor terletak pada bronkus utama sehingga teknik pembedahan sulit dilakukan dan keadaan umum pasien tidak mendukung untuk dilakukan pembedahan. Pada kondisi tertentu, radioterapi saja tidak jarang menjadi alternatif terapi kuratif. Radiasi sering merupakan tindakan darurat yang harus dilakukan untuk meringankan keluhan penderita, seperti sindroma vena kava superiror, nyeri tulang akibat invasi tumor ke dinding dada dan metastasis tumor di tulang atau otak. Terapi radiasi dilakukan dengan menggunakan sinar X untuk membunuh sel kanker. Pada beberapa kasus, radiasi diberikan dari luar tubuh (eksternal). Tetapi ada juga radiasi yang diberikan secara internal dengan cara meletakkan senyawa radioaktif di dalam jarum, dengan menggunakan kateter dimasukkan ke dalam atau dekat paru-paru. Terapi radiasi banyak dipergunakan sebagai kombinasi dengan pembedahan atau kemoterapi.
c.       Kemoterapi
Kemoterapi pada kanker paru merupakan terapi yang paling umum diberikan pada SCLC atau pada kanker paru stadium lanjut yang telah bermetastasis ke luar paru seperti otak, ginjal, dan hati. Kemoterapi dapat digunakan untuk memperkecil sel kanker, memperlambat pertumbuhan, dan mencegah penyebaran sel kanker ke organ lain. Kadang-kadang kemoterapi diberikan sebagai kombinasi pada terapi pembedahan atau radioterapi. Penatalaksanaan ini menggunakan obat-obatan (sitostatika) atau obat antikanker dalam kombinasi regimen kemoterapi untuk membunuh sel kanker. Kombinasi pengobatan ini biasanya diberikan dalam satu seri pengobatan, dalam periode yang memakan waktu berminggu-minggu atau berbulan-bulan agar kondisi tubuh penderita dapat pulih (ASCO, 2010).
10.  Rehabilitasi
Rehabilitasi Paru-paru disebut juga RP, adalah program luas membantu meningkatkan kesejahteraan orang yang memiliki masalah pernafasan kronis (berkelanjutan). RP dapat menguntungkan orang-orang yang PPOK (penyakit paru obstruktif kronik), sarkoidosis, fibrosis paru idiopatik, atau systic fibrosis. RP juga dapat menguntungkan orang-orang yang membutuhkan operasi paru-paru, baik sebelum dan setelah operasi. RP ini meliputi:
a.       Latihan fisik
Tim RP akan memberikan jadwal kegiatan fisik disesuaikan dengan kebutuhan pasien. Mereka akan membuat jadwal (planning) untuk meningkatkan daya tahan dan kekuatan otot, sehingga pasien akan lebih mampu untuk melaksanakan kegiatan sehari-hari. 
b.      Konsultasi Gizi
Data yang dikumpulkan oleh tim RP saat pasien memulai program akan menunjukkan apakah pasien kelebihan berat badan atau kekurangan berat badan. Kedua kondisi ini dapat membuat sulit untuk bernapas. Jika pasien kelebihan berat badan, lemak di sekitar pinggang pasien dapat mendorong melawan diafragma (otot yang membantu Anda bernapas). Ini akan memberikan paru-paru pasien sedikit ruang untuk memperluas saat bernafas. Tim dapat merekomendasikan rencana makan yang sehat untuk membantu pasien menurunkan berat badan. Pasien juga dapat memiliki masalah pernapasan jika pasien kekurangan berat badan. Beberapa orang yang sedang menderita penyakit paru-paru kronis mengalami kesulitan menjaga berat badan. Jika pasien kehilangan berat badan terlalu banyak, pasien bisa kehilangan massa otot. Hal ini dapat melemahkan otot-otot yang digunakan untuk bernapas. Jika pasien kekurangan berat badan, tim dapat merekomendasikan rencana makan yang sehat untuk membantu pasien mendapatkan berat badan. Mereka juga dapat memberikan kalori dan protein suplemen untuk membantu pasien menghindari penurunan berat badan dan hilangnya massa otot. 
c.       Edukasi tentang penyakit paru-paru atau kondisi pasien dan bagaimana penanganannya.
d.      Bagian dari RP melibatkan belajar tentang penyakit atau kondisi pasien dan bagaimana mengelolanya (termasuk bagaimana untuk menghindari situasi yang memperburuk gejala).
e.       Teknik pernafasan
f.       Konsultasi psikologis
RP melibatkan komitmen jangka panjang dari pasien dan tim penyedia layanan kesehatan. Tim RP mungkin termasuk dokter, perawat, dan spesialis. Contoh spesialis termasuk terapis pernafasan, terapis fisik dan kegiatan, ahli gizi dan psikolog. Pasien RP juga dapat menjalankan RP di rumah mereka. Dokter mungkin merekomendasikan rehabilitasi paru-paru (RP) jika pasien sedang menderita penyakit paru-paru kronis.



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Kanker adalah penyakit yang ditandai dengan pembelahan sel yang tidak terkendali, dapat menyerang jaringan biologis lainnya baik dengan pertumbuhan langsung di jaringan yang bersebelahan (invasi) maupun dengan migrasi sel ke tempat yang jauh (metastasis). Penyebab penyakit kanker sampai saat ini belum dapat diketahui secara jelas, akan tetapi banyak penelitian yang menunjukkan adanya hubungan multifaktorial yang saling berhubungan dengan peningkatan risiko atau kemungkinan terjadinya kanker payudara. Baik kanker payudara, kanker serviks, kanker prostat, maupun kanker paru memiliki gambaran distribusi dan frekuensi yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Terdapat berbagai faktor risiko yang dapat memicu tumbuhnya penyakit kanker mulai dari gaya hidup yang tidak sehat, pola makanan yang dikomsumsi, paparan polusi atau zat tertentu dll. Penyakit kanker pada umumnya timbul dengan asimtomatik (tanpa gejala), sehingga seringkali ditemukan kasus seseorang yang memeriksakan dirinya sudah pada stadium lanjut. Hal ini dapat dipengaruhi oleh kurangnya kewaspadaan masyarakat tentang bahaya kanker dan kesadaran masyarakat dalam menerapkan pencegahan penyakit kanker. Bila sudah pada kondisi tersebut, pengobatan kanker berupa pembedahan, terapi maupun yang lainnya dapat membuat penderita kanker mungkin mengalami kurangnya fungsi organ tertentu sehingga diperlukan rehabilitasi supaya dapat mengembalikan fungsi fisik tubuhnya, mental dan sosialnya agar dapat diterima kembali di masyarakat seperti pada saat sebelum terkena kanker.



GLOSARIUM

Adenokarsinoma
Kanker yang dimulai di sel yang melapisi organ-organ internal tertentu dan yang memiliki properti mirip kelenjar.
Aksila supraklavikula
Tulang bawah lengan bagian sisi leher.
Antioksidan
Senyawa kimia yang dapat menyumbangkan satu atau lebih elektron kepada radikal bebas.
Auotoimun
Respon imun terhadap jaringan atau organ sehingga jaringan atau organ sendiri direspon sebagai benda asing.
Barium enema
Suatu larutan yang dimasukkan melalui dubur (anus).
Displasia
Perkembangan jaringan tubuh yang tidak normal. Sejenis kanker.
Edema
Penumpukan atau akumulasi cairan menyebabkan jaringan yang terkena menjadi bengkak.
Efusi pleura
Kondisi yang ditandai oleh penumpukan cairan di antara dua lapisan pleura.
Fiksasi
Melekatkan selaput tipis jaringan yang diambil dari organisme hidup pada sepotong kaca tembus cahaya.
Fitokimia
Zat kimia atau nutrien yang bersumber dari tumbuhan.
Genitalia
Organ reproduksi.
Ginekologi
Ilmu yang khusus mempelajari penyakit-penyakit sistem reproduksi wanita.
Infiltrasi
Bocornya cairan yang menyebar ke jaringan.
Inflamasi
Peradangan.
Intermiten
Berjeda, berselang-seling.
Invasi
Masuknya kuman atau serangan penyakit kedalam tubuh.
Karsinogenik
Zat yang menyebabkan sel normal berubah menjadi sel kanker.
Karsinoma
Tumor atau kanker berasal dari jaringan epitelium atau jaringan kelenjar; contoh: kanker payudara.
Menarche
Haid pertama bagi perempuan.
Menopause
Berhentinya siklus haid bagi perempuan.
Metastase
Penyebaran kanker dari situs awal ke tempat lain di dalam tubuh.
Morbiditas     
Angka kesakitan.  
Mortalitas
Angka kematian.
Paliatif
Perawatan untuk mengurangi keparahan gejala penyakit.
Prognosis
Ramalan tentang jalannya suatu penyakit.
Proliferasi
Perkembangan untuk menghasilkan jaringan baru.
Ras
Suatu sistem klasifikasi untuk mengkategorikan manusia dalam populasi.
Skuamosa
Sel kulit tipis.
Spekulum
Alat untuk membuka/melebarkan lobang/rongga pada tubuh.
Testosteron
Hormon maskulin pada pria.
Ulserasi
Luka terbuka yang mungkin sulit untuk sembuh.



DAFTAR PUSTAKA

ACS (American Cancer Society). 2007. Breast Cancer Facts & Figures 2007 – 2008. http://www.cancer.org/pdf. Diakses 6 Mei 2017.
                      . 2013. Cancer in Childern. Retrieved April 4, 2017, from www.cancer.org/cancer-in-children-pdf.
Amin, Z 2006, Kanker Paru, Dalam: Sudoyo, AW, Setryohadi, B, Alwi, I, Simadibrata, MK, Setiati, S. Ilmu Penyakit Dalam, Ed 4, Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pp.1005-1010.
Andrijono. 2004. Kanker Serviks Uteri, dalam Synopsis Kanker Ginekologi, Edisi 3, (pp 59-129). Jakarta: Pustaka Spirit.
Aguswan, 2000. Rehabilitasi Kanker Payudara. Simposium Onkologi Terkini, Padang 18 Nov 2000.
Anggrowati, Lindra. 2013. “Faktor Risiko Kanker Payudara Wanita”. Jurnal Kesehatan Masyarakat 8(2): 125-126.
ASCO. 2010. “ASCO Annual Meeting Abstracts”. Vol 28, Issue 15.
Bose SK, Bullard RS, Donald CD. 2008.  “Oncogenic Role of Engrailed-2 (En-2) In Prostate Cancer Cell Growth and Survival”. Transl Onco. Vol 3: 37–43.
Bustan, MN. 2007. Epidemiologi: Penyakit Tidak Menular. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Charette, J,.& Gale, D. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Onkologi.http://books.google.co.id/books. Diakses 10 Mei 2017.
Chodidjah. 2009. “Aspek Imunologik pada Kanker Prostat”. Sultan Agung. Vol XLIV (118): 5.
Corwn, Elizabeth. 2001. Buku Saku Patofisiologi (Handbook of Pathophysiology). Jakarta: EGC.
Depkes RI. 2007. Health Profile Indonesia 2005. Jakarta: Depkes RI.
                      . 2009. Buku Saku Pencegahan Kanker Leher Rahim dan Kanker Payudara. http://www.pppl.depkes.go.id/. Diakses 4 April 2017.
                      .2013. Penderita Kanker diperkirakan menjadi Penyebab Utama Beban Ekonomi terus Meningkat. http://www.depkes.go.id/index.php?vw=2&id=1937. Diakses 4 Mei 2017.
Dewi, L. 2009. Aku Sembuh dari Kanker Payudara. Yogyakarta: Tugu Publisher.
Ellen W. 2011. “Breast Cancer Screening”. N Engl J Med. Vol. (365):1025-32.
Erik Tapan, 2005. Penyakit Degeneratif. Jakarta: Elek Media Komputindo.
Fahriza, Muhamad. 2010. “Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Pengetahuan Wanita Usia 20-45 tahun tentang Penanganan Kanker Payudara Kelurahan Rempoa RT 07 RW 02 pada bulan September tahun 2010”. Skripsi. Fakultas Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Fitriana, N.A. dan Tri Kurniati A. 2012. “Kualitas Hidup pada Kanker Serviks yang Menjalani Pengobatan Radioterapi”. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental. Vol. 1(2):123-129.
Gale dkk, 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Onkologi. Jakarta: EGC.
Gaol, Lumban Nourman Y. 2010. “Karakteristik Penderita Kanker Payudara yang Dirawat Inap di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2007-2008”. Skripsi. Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Gede I., D., S. 2000. Onkologi Klinik Edisi 2. Jakarta: EGC.
Haas, G. P dan Wael A. S. 1997. “Epidemiology of Prostate Cancer”. CA–A Cancer Journal for Clinicians. Vol.47(5): 273-287.
Handayani, Lestari. Suharmiati dan Atika Ayuningtyas. 2012. Menaklukan Kanker Payudara dan Kanker Serviks dengan 3 Terapi Alami. Jakarta: Agromedia Pustaka.
Haryati, M. B dan Shinta KNA. 2013. “Profil Penderita Kanker Paru Primer di Rumah Sakit Umum Daerah Ulin Banjarmasin Tahun 2006-2011”. J Respir Indo. Vol. 33(1).
International Agency for Research on Cancer. Globocan 2012: Estimated Cancer Incidence, Mortality and Prevalence Worldwide in 2012. http://globocan.iarc.fr/Pages/fact_sheets_population.aspx. Diakses 4 mei 2017.
Irianto, Koes. 2014. Epidemiologi Penyakit Menular dan Tidak Menular. Bandung: Alfabeta.
Jemal A, Bray F, Center MM, Ferlay J, Ward E, Forman D. 2011. “Global Cancer Statistics”. CA Cancer J Clin. Vol. 61(2):69-90.
Jong, Sjamsuhidayat R. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: EGC.
Kemenkes RI, 2010. Panduan Penatalaksanaan Kanker Payudara. http://kanker.kemkes.go.id/guidelines/PPKPayudara.pdf. Diakses 6 Mei 2017.
K. O. H, William, et all. 2000. Neoplasm of the Prostate. In : C. Bast, Robert et al, ed. Holland-    Frei Cancer Medicine 5th  Edition. USA: BC Decker Inc.
Juanda, Desby dan Hadrians Kesuma. 2015. “Pemeriksaan Metode IVA (Inspeksi Visual Asam Asetat) untuk Pencegahan Kanker Serviks”. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan. Vol. 2(2): 169-174.
Lubis, Ari Abdurrahman. 2011. “Sensitivitas dan Spesifitas Nilai Resistance dan Pulsatility Index dalam Diagnosis Kanker Ovarium”, Tesis, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Mailana. 2015. “Hubungan PSA, Free-PSA dan Testosteron Pada Pasien Benign Prostate Hiperplatia (BPH) dan Kanker Prostat”. Vol. 216: 167.
Mardiana, Lina, 2004. Kanker pada Wanita (Pencegahan dan Pengobatan dengan Tanaman Obat). Bogor: Penebar Swadaya.
Maulina Mahelda, IP, dan Nurul Hartini. 2012. Post-traumatic Growth pada Pasien Kanker Pay­udara Pasca Mastektomi Usia Dewasa Madya. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental, 1(2): 67-71.
Moul, J. W, et all. 2005. Chapter 17 Prostate Cancer. In: Cancer Management: A Multidisciplinary Approach.
Munoz, Nubia et all., 2003. Epidemiologic Classification of Human Papillomavirus Types Associated with Cervical Cancer. NEJM (348): 518- 527. Available from: http://content.nejm.org/cgi/content/full/348/6/518. Diakses 8 Mei 2017.
Noor, N.N., 2008. Epidemiologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Notodiharjo, R., 2002. Reproduksi, Kontrasepsi, dan Keluarga Berencana. Yogyakarta: Kanisius
Otto, S., E dan Budi Jane F. 2005. Buku Saku Keperawatan Onkologi. Jakarta: EGC.
Ova et.al. 2010. Bebas Ancaman Kanker Serviks. Yogyakarta: Media Presindo.
Pulungan, Rafiah Maharani. 2010. “Karakteristik Penderita Kanker Payudara Rawat Inap di Rumah Sakit Haji Medan”. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Putri, N. 2009. Deteksi Dini Kanker Payudara. Yogyakarta: Aura Media.
Rainy U. 2005. “Karakteristik dan Penanganan Kanker Prostat di Indonesia; Pengamatan Sepuluh Tahun”. Indonesia Journal of Cancer. Vol. 33(4): 107-14.
Ramadhan, A.E. 2007. Potensi Jahe (Zingiber officinale Rosc.) sebagai Obat Anti-kanker Sub-Tema: Daya Saing, Keunggulan dan Penguasaan IPTEKS Kekayaan alam: pengolahan dan nilai tambah. Artikel ilmiah. Universitas Diponegoro Semarang. RSO Semarang.
Rasjidi, Imam. 2007. Panduan Penatalaksanaan Kanker Ginekologi Berdasarkan Evidence Base. Jakarta: EGC.
Rasjidi, I. Irwanto, Y. Wicaksono, B. 2008. Kanker Serviks. Jakarta: Sagung Seto.
Rasjidi, Imam. 2009. “Epidemiologi Kanker Serviks”. Indonesian Journal of Cancer. Vol.3(3): 103-108.
Rata, IGAK. Tumor Kulit. 2011. dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editor (penyunting). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. hlm. 233.
Rindiastuti,Y. 2007. Mekanisme Kalsium dalam Meningkatkan Resiko Kanker Prostat pada Usia Lanjut. Solo: Fakultas Kedokteran Universitas Negeri Sebelas Maret: 24.
Rivai, Veitzhal dan Mulyadi, Deddy. 2012. Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Ropitasari, Soetrisno, Sri Mulyani, dan Kundharu Saddhono. 2014. “Deteksi Dini Kanker Leher Rahim melalui Tes IVA di Puskesmas Jaten II Kabupaten Karanganyar. Vol. 3(1): 1-5.
Setyowati, Irna. 2012. “Hubungan Antara Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Pencegahan dengan Kejadian Kanker Payudara di RSUD Dr. Moewardi”, Skripsi, Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Shah, P. 2007. Clinical Considerations in Lung Canser. In: Desai SR. Lung Cancer. New York: Cambridge University Press.
Siegel R, Naishadham D, Jemal A. 2013. “Cancer Statistics”. CA Cancer J Clin. Vol. 63(1):11-30.
Singh T. 2007. “Breast Cancer Management”. Med J Indonesia. Vol. 16(1):55-60.
Sjamsuhidajat, R dan De Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi ke-2. Jakarta: EGC.
                      .2011. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC. Hlm. 353.
Solang, Valdo, Alwin Monoarfa dan Ferdinand Tjandra. 2016. Profil Penderita Kanker Prostat di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode tahun 2013–2015”. Jurnal e-Clinic (eCl). Vol. 4(2).
Stoppler, M.C. 2010. Lung Cancer. Available from: http://www.emedicinehealth/. Diakses 14 April 2017.
Supit, IS. 2002. Deteksi Dini Keganasan Payudara dalam Deteksi Dini Kanker. Jakarta: FK UI. hlm. 56-62.
Suryaningsih, E.K., dan B.E. Sukaca, 2009. Kupas Tuntas Kanker Payudara. Yogyakarta: Paradigma Indonesia.
Suryo. 2010. Herbal Penyembuhan Wasir dan Kanker Prostat. Yogyakarta: Ariesta.
Widjaja, Amis Tunggal. 2007. Audit Manajemen. Jakarta: Rineka Cipta.
Willie, Japaries. 2008. Buku Ajar Onkologi Klinis. Ed 2. Jakarta: FKUI.
Wilopo, Siswanto Agus. 2006. Kebijakan dan Program Kesehatan Reproduksi Remaja.http://72.14.203.104/search?q=bkkbn.go.id/hqweb/ceria/pengelolaceria/pk7kebijakan. Diakses 8 Mei 2017.
Wilson, L dan Price, S. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta: EGC.
Witantri, R.G. Euis Citra A. R. dan Dwi S.S. 2015. “Keanekaragaman Pohon Berpotensi Obat Antikanker di Kawasan Kampus Kentingan Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Jawa Tengah”. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon. Vol. 1(3): 477-483. ISSN: 2407-8050.
Yudha AK. 2014. “Management of Prostate Cancer”. Medula. Vol. 2:15-20.

Yulius, Elsa,. Ida Parwati, Anna Tjandrawati dan Dewi Kartika T. 2014. “Keabsahan Engrailed-2 di Kanker Prostat”. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory. Vol. 20(2): 151. ISSN 0854-4263. 

0 komentar: