CERPEN KESEHATAN TENTANG ROKOK

DIRA, AKU TAK MEROKOK LAGI
Malam ini terasa dingin. Aku melamun sambil melihat lampu jalan yang berlarian dari kaca mobil. Setiap akhir pekan Bapak dan Ibu mengajakku berkeliling kota. Itulah saat yang tepat bagiku untuk menghabiskan waktu bersama keluarga kecilku.
“Pak, Dira mau liat-liat buku. Bapak nemenin Ibu belanja saja, Dira bisa sendiri.”
“Yaudah tapi jangan keluar mall ini ya, kalau udah jam sembilan kamu ke lantai satu.” Jawab Ibu dengan lembut.
Namaku Nadira Agustine. Aku anak tunggal yang hidup kesepian tanpa kakak atau adik. Aku suka membaca buku. Apalagi buku dongeng. Setiap hari aku menghabiskan waktu luang di rumah untuk membaca buku dongeng. Aku memang suka pergi sendiri. Aku tidak takut pergi sendirian. Karena hijab membuatku merasa nyaman dan aman. Lagi pula ada Allah SWT yang senantiasa melindungi. Bila keadaan terdesak aku bisa menggunakan kemampuan silatku yang belum pernah aku gunakan selama ini.
            City Mall terdapat empat lantai. Lantai satu untuk supermarket, lantai dua cafe dan makanan, lantai tiga alat tulis dan buku, lantai empat untuk barang-barang elektronik. Sebelum ke lantai tiga aku harus menjamah lantai dua. Aku mengelilingi cafe-cafe dan melihat-lihat sekelilingku. Aku tersentak. Langkahku menjadi ragu saat melihat temanku yang duduk sendirian di sebuah cafe.
‘Bukannya itu Dias? Loh kok dia ngerokok? Batinku. Aku melewatinya begitu saja berpura-pura tidak melihatnya.
            Aku menyelinap di antara tumpukan buku-buku. Aku membaca beberapa buku dongeng. Tapi aku tidak bisa konsentrasi. Pikiranku tertuju pada Dias, Dias dan Dias. Tak terasa sudah pukul sembilan. Aku harus menemui kedua orang tuaku di lantai satu.
*****
Hari ini aku kuliah pagi. Semoga hari ini menyenangkan.
“Hei Memey! Gimana weekend sama doi? Cieee” sambil kurangkul tubuh Memey.
“Lancaaaaar kaya jalan tol hahaha. Ra, nanti sore ngerjain tugas bareng di rumahmu ya?”
            Baru sehari kuliah saja rasanya membosankan, mumpung jam istirahat aku jalan-jalan dulu di sekeliling kampus. Ternyata di luar hujan, pantas saja udaranya dingin. Aku menonton TV di lobi kampus, sambil ku gosok-gosokkan telapak tanganku. Lalu seseorang duduk di sofa agak berjauhan denganku, ada laptop putih di pangkuannya. Aku tak tahu siapa dia, aku hanya fokus menonton TV. Lalu aku beranjak kembali ke kelas. Ku tengok dia yang memangku laptop. ‘Loh itu kan Dias!’ batinku.
*****
            Malam ini aku akan belajar Anatomi dan Fisiologi. Pikiranku harus fokus kali ini. Sebentar, aku ingin mengecek ponselku, melihat grup chat teman seangkatanku. Kulihat semua anggota grup itu. Tiba-tiba aku ingin tahu nama Id Dias. Dan...akhirnya ketemu. Dias Wijaya. Kali ini aku ingin mengirim pesan pada Dias. Ah tidak. Aku tidak mau. Lagi-lagi Dias mengganggu pikiranku. Aku akan belajar dan melupakan tentang Dias.
‘Dias, apa benar akhir pekan kemarin kamu ke Moonbucks di City Mall?’ Pesan terkirim. Ah aku nekat. Entah apa aku ingin menanyakan soal itu. Jantungku  rasanya mau copot.
‘Iya. Kenapa memangnya?’ Wah langsung dibalas. Alhamdulillah..
‘Aku tidak sengaja melihatmu kemarin duduk sendiri dan memegang rokok’ Balasku.
‘Sampai ketemu besok’ balasan Dias.
Apa maksudnya? Dias memintaku menemuinya? Aku menyesal, harusnya aku tidak peduli tentang Dias. Jantungku kali ini sudah copot. Dan aku sekarat rasanya. Dias lagi-lagi mengganggu pikiranku. Aku tidak bisa fokus belajar.
*****
Aku dan Dias kuliah di jurusan yang sama. Kami mulai akrab sejak semester dua, atau tepatnya tidak lama setelah aku mengirim pesan untuk pertama kalinya pada Dias. Dia humoris, aku menyukainya. Maksudku aku menyukai candaannya. Aku mendekatinya dengan sebuah alasan. Belum lama ini aku tahu sifat buruk Dias. Dias perokok berat. Aku tak tahu apa yang dipikirannya. Sedangkan aku, benci sekali dengan asap rokok. Aku mau Dias berubah. Aku tidak ingin paru-parunya menghitam karena rokok. Aku hanya berusaha menasehatinya, menyadarkan dari kebiasaan buruknya.
“Susu cokelat mau? Atau mau pesan apa?” tanya Dias.
“Iyaaa susu cokelat panas, pake gelas dek”
“Pakai wajan khusus buat kamu mah” katanya sambil nyengir.
            Kami duduk di angkringan tepat di pertigaan jalan. Suasananya tidak terlalu ramai, hanya satu dua kendaraan yang hilir mudik di jalan. Aku memanggil Dias dengan sebutan ‘adek’ karena aku ingin sekali punya adik laki-laki. Aku tidak peduli dia lebih tua dariku, lagi pula Dias tidak risi kupanggil begitu.
“Udah jam sepuluh malem, ngga dicariin bapak?”
Aku melihat jam tanganku, pukul sepuluh tepat. Sambil komat-kamit dalam hati semoga bapak tak memarahi anak gadisnya yang ngeluyur malam-malam.
“Kemarin habis berapa batang rokok dek?”
“Semalem empat, berarti mmm.. kemarin habis tujuh deh”
“Lah kok tujuh si? Kan aku udah bilang maksimal tiga sehari!! Kamu ngga denger apa yang aku katakan? Kamu lupa? Kamu kenapa si kumat lagi.”
“Denger lah. Ingetnya pas sama kamu. Yaa soalnya udah kebiasaan si, gimana lagi.”
*****
Aku ngeluyur malam lagi demi bertemu Dias. Aku peduli pada Dias. Aku ingin dia baik-baik saja.
“Adek! Sebenernya adek mau berubah ngga si? Kalo ngga mau ya aku ngga perlu repot-repot perhatiin kamu kaya gini.” Teriakku saat berboncengan dengan adek.
“Ya gimana, aku masih labil. Belum bisa lepas dari kebiasaanku.”
“Ya berusaha lah. Kapan nurutnya si. Jangan nakal mulu kenapa!” kucubit pinggangnya.
“Aduuuuh.. iyaiyaiya lepasin tangannya, sakit tau!” rengek Dias.
Sesampainya di rumah, aku lagi-lagi menyelinap ke rumah perlahan-lahan supaya bapak tidak bangun dan sadar anak gadisnya baru pulang ngeluyur malam-malam lagi.
“Sekarang jam berapa? Baru pulang? Siapa yang nganter?” tanya Bapak.
“Bapak maaf aku ngantuk, besok aku jawab hehe”
Aku bergegas masuk ke kamar. Sempat terpikir olehku sejak kapan aku bandel begini. ‘Ya ampun Dias, aku harus bagaimana? Padahal kemarin kamu melapor tidak merokok tiga hari tapi lagi-lagi kamu tidak bisa menahan diri.’ batinku. Lalu aku tertidur.
*****
Hari demi hari terus kupantau kebiasaan merokok adek. Sempat kutanyakan kapan saja waktu saat merokok. Pagi satu batang, siang satu batang, sore satu batang dan malam empat batang katanya. Aku prihatin mengetahuinya. Bahkan pagi hari saat tubuh perlu asupan bergizi, adek malah merokok. Aku memintanya untuk tidak merokok pagi hari. Dias mengelak, katanya kalau merokok pagi hari itu memperlancar BABSHnya. Aku semakin tidak mengerti jalan pikirannya. Aku memaksanya supaya menuruti perintahku. Lambat laun Dias menjadi anak penurut. Kebiasaan merokoknya sedikit berubah. Namun akhir-akhir ini kesehatannya mulai menurun. Cuma flu biasa katanya.
Rabu (Rasanya Butuh Kamu) pukul enam pagi. Aku teringat tentang Dias, coba aku tanyakan dia sudah BABSH belum kalau tanpa merokok pagi-pagi.
‘Adek udah BABSH? Kamu inget kan aku menyuruhmu tidak merokok pagi-pagi?’ pesan terkirim.
Satu menit kemudian. Panggilan masuk dari Dias.
“Halo, Dias”
“Udah barusan. Iya aku inget ko. Kamu ngapain si pagi-pagi nanya aku udah BABSH apa belum. Aneh-aneh aja kelakuan anak kecil.”
“Tuh kan!! Terbukti ngga ada hubungannya BABSH sama ngerokok pagi-pagi betul?”
“Hmmm. Temui aku di lobi kampus tiga puluh menit sebelum kuliah. Aku kangen”
“Males. Paling mau liat tugasku kan. Dias menyebalkaaaaaaaan!!”
“JANGAN TELAT!! NANTI AKU NGGA BISA NGUMPULIN TUGAS.”
*BABSH, Buang Air Besar Setiap Hari
*****
Aku tidak memaksanya untuk berhenti merokok, aku tidak bisa melarangnya begitu saja. Karena jelas itu takkan berhasil. Aku menyuruhnya agar dalam sehari tak lebih dari tiga batang rokok yang dihisapnya. Aku membuat kesepakatan agar dia mau wisuda denganku kelak. Aku menjanjikan sesuatu untuknya, untuk setiap kerja kerasnya menuruti perintahku. Dias juga setuju bila dia tidak bisa wisuda berbarengan denganku, dengan konsekuensi tidak akan merokok lagi. Aku tidak menyangka Dias mau menyepakati misi itu. Alhamdulillah. Walaupun saat ini aku ragu padanya, karena ia sering melanggar aturanku. Dias sungguh menyebalkan.
“Dengarkan aku. Kamu bisa merubah kebiasaanmu. Aku tuntun ya, yang harus kamu lakukan itu tunda waktu merokokmu, kurangi jumlahnya dan akhirnya berhenti.”
“Sudahlah aku tidak bisa. Kamu malah mengajakku ke rumah sakit untuk melihat mereka. Kamu ingin aku seperti mereka? Aku akan pulang sekarang juga.”
“Tunggu Dias.. Lihat mereka. Bapak itu terkena stroke, mas yang di sana kehilangan pita suaranya. Bahkan adik kecil itu, terkena kanker paru-paru karena dia perokok pasif. Aku tidak ingin kamu seperti mereka Dias. Aku sama sekali tidak pernah berpikir seperti itu. Aku ingin kamu baik-baik saja, dan mau menurutiku. Aku membawamu ke sini supaya kamu bercermin, melihat apa yang sudah terlanjur dan apa yang harus kamu lakukan. Bisakah kamu mencerna kata-kataku?” Sambil kupegangi tangannya supaya tidak kabur.
“Cukup Dira, aku mau pulang!”
“Sebentar Dias, aku mengajakmu untuk merongent paru-parumu. Kamu tidak keberatan kan?” pintaku.
Dias menuruti kemauanku kali ini. Benar saja paru-paru Dias mulai tidak sehat. Sebab itu dia sering batuk-batuk yang dia anggap hanya flu biasa. Bahkan dokter menyuruhnya kontrol paru-paru lagi bulan depan dan menasehatinya berhenti merokok.

“Dira, maaf karena sifat keras kepalaku ini. Aku tidak sanggup berjuang sendirian. Sejak ibuku tiada aku menjadi lemah. Dan karena rokok seakan-akan aku memperoleh kekuatan untuk bangkit. Tapi aku salah. Aku membutuhkanmu Dira..” Lalu Dias menarik tubuhku dengan kedua tangannya. Dia menangis di pundak kananku. Kali ini aku sangat dekat dengan Dias, bahkan aku mendengar detak jantungnya. Aku di dekapnya. Aku memberinya waktu sampai tangisannya terhenti. Lalu kami pulang. 

-by: Sasmita D Ramadhani-

2 komentar: