MEGA MEDICAL CLOUD TERINSPIRASI AWAN DI LANGIT
Keseharianku bekerja di rumah sakit,
membuatku lebih bersyukur pada apa yang terjadi setiap harinya, terutama
kesehatan. Bisa membantu banyak orang untuk pulih dari rasa sakitnya dan bisa
berkumpul dengan keluarga di rumah sudah layaknya hidup sempurna.
“Ibu, tadi Mega diajak main sama anak
kecil yang habis kontrol rawat jalan. Di taman rumah sakit dia lihat burung
kecil lagi minum dekat kolam, dia cerita kalau ayahnya seperti burung kecil itu
yang terbang jauh dan pulangnya tak menentu. Lalu Ibunya menghampiri kami, yang
kayanya mendengar obrolan kami tadi. Beliau membopong anaknya sambil bilang,
yang penting anak Mama sehat, Papa di sana juga sehat ya.”
“Oh, memangnya profesi Papanya apa? Mamanya
hebat sekali bisa menjaga keluarganya tanpa suami di sisinya.”
“Pilot Bu, kayanya anak itu lagi kangen
banget sama Papanya. Dia tanya ke Mamanya, kalau adek sakit kan ada Mama yang
njagain di rumah sakit, kalo Papa sakit yang njagain siapa?”
Obrolan kami pada sabtu sore ini
dilanjutkan dengan cerita Ibu saat melahirkanku. Ibu bersalin secara normal,
tapi yang tidak normal cara membayar biaya persalinannya. Bapak Ibu kewalahan
pinjam sana sini untuk membayar biaya kelahiranku. Setelah terkumpul dana kepepet
tadi, Bapak kaget uangnya masih saja kurang, sampai akhirnya bapak berhutang ke
bidan yang bantu proses kelahiranku.
Aku menyimak cerita Ibu sambil
menyayangkan kenapa dulu tidak ada jaminan kesehatan yang bisa membantu
meringankan biaya pelayanan kesehatan. Masa iya, semua bidan harus dihutangi
oleh Ibu-ibu yang melahirkan, kan kasian.
Kami yang tergolong dari keluarga
sederhana pernah mengalami beberapa kali kelimpungan saat membayar biaya berobat
di rumah sakit. Pokoknya mahal deh kalau sakit. Mungkin berbeda halnya dengan
keluarga anak kecil tadi.
“Bu tapi Mega jadi kepikiran, kalau Papanya
sakit di luar negeri bagaimana ya? Ya mungkin aja untuk Papanya gampang
mengakses pelayanan kesehatan, kan uangnya banyak, kalau yang kurang mampu
secara finansial bagaimana ya, Bu? Sudah jauh dari keluarga, kan ngga
bisa hutang sama bidan juga.” ujarku sambil cekikikan.
“Kalau kita kan sudah aman ya Mba ada
Kartu Indonesia Sehat di sini, tapi apakah mungkin kalau KIS ini bisa digunakan
di luar negeri ya?”
“Bu kalau sekarang zaman teknologi sudah
semakin canggih, kartu ATM saja bisa digunakan di luar negeri, mungkin negara
kita bisa mencontoh negara Taiwan, Bu. Dari yang Mba baca, peserta dari sistem
jaminan kesehatan nasional di sana punya IC Card yang bisa mengakses
lebih dari 18.000 fasilitas kesehatan yang terkontrak di seluruh negara, hebat
ya.”
“Wah, kalau begitu Papanya anak kecil
itu pun bisa gampang akses pelayanan kesehatan ke manapun dia terbang ya. Kalau
berkaca dari ATM, nanti ada versi KIS silver atau gold ya Mba?”
“Maksud Ibu bagaimana?”
“Kalau KIS yang sekarang kan dibedakan
berdasarkan kelas rawat inap, nanti kalau KIS sudah bisa digunakan di negara
lain pakainya yang gold, yang silver cuma bisa buat akses dalam
negeri.”
“Ibu menteri kesehatan negara mana si Bu
hahaha.” kami berdua tertawa memikirkan negara khayalan yang ada di pikiran
kami.
Teleponku berdering, seketika menghentikan
obrolan kami. Ternyata dari rekan sejawat yang memintaku mengirimkan laporan rekam
medis pasien. Setelah menutup telepon, aku segera membuka laptop dan
mengirimkan apa yang rekanku minta. Sambil menunggu proses pengiriman data, aku
sesekali melihat langit sore dari jendela kamar. Hari ini langit cerah, dan ada
sedikit awan.
Aku melamun.
Awan, cloud. Mungkin ngga ya, aku masih
hidup di zaman teknologi yang canggihnya semakin luar biasa dapat memudahkan
seluruh aspek kehidupan. Seperti sidik jari manusia, punya ciri khas
masing-masing yang membedakannya dengan manusia lainnya. Apakah setiap pasien
bisa memiliki chip untuk mengakses data riwayat perjalanan penyakit yang
melekat pada dirinya dari penyimpanan cloud. Dengan begitu, pasien atau tenaga medis
di manapun tempat ia berobat bisa dengan mudah memeriksa catatan medis kapan
pun dan di mana pun. Informasi medis dari sejak ia lahir bisa disimpan dan
digunakan untuk mengetahui diagnosa sebelumnya atau terapi lanjutan yang akan
dijalani. Selain kemudahan akses, digitalisasi melalui penyimpanan awan mungkin
juga bisa menghemat sumber daya medis dan meningkatkan ketepatan perawatan bagi
pasien, apalagi untuk pasien dengan pengobatan jangka waktu yang lama. MY
MEDICAL JOURNEY sepertinya cocok namanya.
“Mba?”
“Eh iya Pa? Kenapa?”
“Mba ngga denger tadi Papa minta
tolong apa?”
“Minta tolong apa Pa?”
“Itu tetangga minta tolong didaftarin
kontrol rawat jalan, habis ngelamunin apa si Mba?”
“Pa, menurut Papa kalau pasien pulang
setelah menjalani pengobatan, kesan yang paling diingat dari pelayanan
pengobatannya apa ya?”
“Menurut Papa, pasien mulai dari datang
sampai pulang itu bisa dijadikan tolok ukur kepuasan pelayanannya. Walaupun
sudah memiliki jaminan kesehatan, tapi ada faktor lain juga yang berdampak pada
kepuasan pasien. Pertama, akses dia ke pusat pelayanan kesehatan, apakah jauh
dari rumah yang bersinggungan dengan keadaan finansial mereka. Lalu pendaftaran,
pasien sudah datang dengan rasa sakit, kalau misalnya sulit mendaftar atau
nunggu terlalu lama di tempat pendaftaran mungkin ngga nyaman. Lalu
fasilitas dan sikap tenaga kesehatan juga pasti mendorong kepuasan pelayanan
bagi mereka.”
Hari demi hari berlalu, rutinitasku
melayani pasien sampai rasanya setengah hidupku ada di rumah sakit. Hiruk pikuk
rumah sakit, melayani berbagai macam tipe pasien yang memiliki keunikannya
masing-masing menjadi tantangan tersendiri bagi kami para tenaga kesehatan,
apalagi di tengah pandemi Covid-19 saat ini. Namun sebaliknya, ada peluang
untuk terus berbenah dalam melayani pasien agar pasien maupun kami selamat.
Menjaga jarak sudah digaungkan di sana-sini,
agar penularan Covid-19 dapat dicegah dengan menjalankan protokol kesehatan
yang ditetapkan. Ruang tunggu antrian pun kini diberi jarak, kontak pasien
dibatasi bahkan sebagian pelayanan dialihkan dengan konsultasi online.
Saat bersiap-siap mau pulang, temanku
mengajak ke minimarket dekat rumah sakit, katanya dia ingin beli biskuit
cokelat. Aku mengiyakan ajakannya.
“Mba, bayar pakai kartu debit bisa kan
ya?” tanya temanku ke kasir.
“Bisa Mba, pakai scan QR e-wallet
juga bisa.”
“Mba kalau aku bayar pakai scan QR
e-wallet ya.” pintaku.
Sejak pandemi kami lebih suka
menggunakan pembayaran cashless sampai kami tak punya uang tunai sepeserpun.
Dompet kami hanya berisi kartu ATM dan beberapa nota belanja.
“Mba tadi kunjungan pasien rajal rekor
berapa hari ini?” tanyaku pada Mba Vina.
“Gopek” jawabnya ketus.
“Mba kalau pendaftaran online
yang sekarang memang lebih praktis ya dari zaman dulu yang masih fotokopi ini
itu. Tapi mungkin ngga ya kedepannya pendaftaran poli tinggal scan QR
kayak aku bayar biskuit ini,”
“Setuju banget, pasien harusnya punya
satu kartu sakti yang terintegrasi sistem palayanan kesehatan kita ya. Jadi
kalau pendaftaran pasien tinggal scan berapa detik secara mandiri,
langsung ke poli jadi aku ngga perlu verifikasi berkas atau cek data
lagi. Ya mungkin kerjaanku nanti tinggal mengarahkan pasien yang butuh
informasi atau ada kendala ya” nada bicara Mba Vina mendadak berubah menjadi
cekikikan.
Saat keluar minimarket aku dan Mba Vina
melihat sepasang lansia yang sedang menyeberang jalan dari arah rumah sakit,
nampaknya mereka salah satu pasien dari rumah sakit kami. Isi kepala lansia
tersebut mungkin berbeda dengan isi kepala kami yang masih muda. Bagi mereka
menikmati masa tua dengan kondisi sehat menjadi anugerah yang patut disyukuri,
namun apakah mereka mampu memanfaatkan kemajuan teknologi yang ada?
Pada akhirnya aku menyadari kemajuan
teknologi memiliki kelebihan dan kekurangan. Di negara berkembang seperti
Indonesia ini, kemajuan teknologi mungkin baru dapat dinikmati oleh sebagian penduduk,
sebagiannya lagi masih terbata-bata. Namun kemajuan teknologi juga menjadi
peluang bagi manusia untuk dapat menjalani kehidupan yang lebih baik dan serba mudah.
Capaian sistem jaminan kesehatan nasional yang ada saat ini sudah merupakan
pencapaian, sekaligus perjalanan panjang yang masih perlu dikembangkan.