Cerpen Peringatan HUT 53 Tahun BPJS Kesehatan

 

MEGA
MEDICAL CLOUD TERINSPIRASI AWAN DI LANGIT

Keseharianku bekerja di rumah sakit, membuatku lebih bersyukur pada apa yang terjadi setiap harinya, terutama kesehatan. Bisa membantu banyak orang untuk pulih dari rasa sakitnya dan bisa berkumpul dengan keluarga di rumah sudah layaknya hidup sempurna.

“Ibu, tadi Mega diajak main sama anak kecil yang habis kontrol rawat jalan. Di taman rumah sakit dia lihat burung kecil lagi minum dekat kolam, dia cerita kalau ayahnya seperti burung kecil itu yang terbang jauh dan pulangnya tak menentu. Lalu Ibunya menghampiri kami, yang kayanya mendengar obrolan kami tadi. Beliau membopong anaknya sambil bilang, yang penting anak Mama sehat, Papa di sana juga sehat ya.”

“Oh, memangnya profesi Papanya apa? Mamanya hebat sekali bisa menjaga keluarganya tanpa suami di sisinya.”

“Pilot Bu, kayanya anak itu lagi kangen banget sama Papanya. Dia tanya ke Mamanya, kalau adek sakit kan ada Mama yang njagain di rumah sakit, kalo Papa sakit yang njagain siapa?”

Obrolan kami pada sabtu sore ini dilanjutkan dengan cerita Ibu saat melahirkanku. Ibu bersalin secara normal, tapi yang tidak normal cara membayar biaya persalinannya. Bapak Ibu kewalahan pinjam sana sini untuk membayar biaya kelahiranku. Setelah terkumpul dana kepepet tadi, Bapak kaget uangnya masih saja kurang, sampai akhirnya bapak berhutang ke bidan yang bantu proses kelahiranku.

Aku menyimak cerita Ibu sambil menyayangkan kenapa dulu tidak ada jaminan kesehatan yang bisa membantu meringankan biaya pelayanan kesehatan. Masa iya, semua bidan harus dihutangi oleh Ibu-ibu yang melahirkan, kan kasian.

Kami yang tergolong dari keluarga sederhana pernah mengalami beberapa kali kelimpungan saat membayar biaya berobat di rumah sakit. Pokoknya mahal deh kalau sakit. Mungkin berbeda halnya dengan keluarga anak kecil tadi.

“Bu tapi Mega jadi kepikiran, kalau Papanya sakit di luar negeri bagaimana ya? Ya mungkin aja untuk Papanya gampang mengakses pelayanan kesehatan, kan uangnya banyak, kalau yang kurang mampu secara finansial bagaimana ya, Bu? Sudah jauh dari keluarga, kan ngga bisa hutang sama bidan juga.” ujarku sambil cekikikan. 

“Kalau kita kan sudah aman ya Mba ada Kartu Indonesia Sehat di sini, tapi apakah mungkin kalau KIS ini bisa digunakan di luar negeri ya?”

“Bu kalau sekarang zaman teknologi sudah semakin canggih, kartu ATM saja bisa digunakan di luar negeri, mungkin negara kita bisa mencontoh negara Taiwan, Bu. Dari yang Mba baca, peserta dari sistem jaminan kesehatan nasional di sana punya IC Card yang bisa mengakses lebih dari 18.000 fasilitas kesehatan yang terkontrak di seluruh negara, hebat ya.”

“Wah, kalau begitu Papanya anak kecil itu pun bisa gampang akses pelayanan kesehatan ke manapun dia terbang ya. Kalau berkaca dari ATM, nanti ada versi KIS silver atau gold ya Mba?”

“Maksud Ibu bagaimana?”

“Kalau KIS yang sekarang kan dibedakan berdasarkan kelas rawat inap, nanti kalau KIS sudah bisa digunakan di negara lain pakainya yang gold, yang silver cuma bisa buat akses dalam negeri.”

“Ibu menteri kesehatan negara mana si Bu hahaha.” kami berdua tertawa memikirkan negara khayalan yang ada di pikiran kami.

Teleponku berdering, seketika menghentikan obrolan kami. Ternyata dari rekan sejawat yang memintaku mengirimkan laporan rekam medis pasien. Setelah menutup telepon, aku segera membuka laptop dan mengirimkan apa yang rekanku minta. Sambil menunggu proses pengiriman data, aku sesekali melihat langit sore dari jendela kamar. Hari ini langit cerah, dan ada sedikit awan.

Aku melamun.

Awan, cloud. Mungkin ngga ya, aku masih hidup di zaman teknologi yang canggihnya semakin luar biasa dapat memudahkan seluruh aspek kehidupan. Seperti sidik jari manusia, punya ciri khas masing-masing yang membedakannya dengan manusia lainnya. Apakah setiap pasien bisa memiliki chip untuk mengakses data riwayat perjalanan penyakit yang melekat pada dirinya dari penyimpanan cloud. Dengan begitu, pasien atau tenaga medis di manapun tempat ia berobat bisa dengan mudah memeriksa catatan medis kapan pun dan di mana pun. Informasi medis dari sejak ia lahir bisa disimpan dan digunakan untuk mengetahui diagnosa sebelumnya atau terapi lanjutan yang akan dijalani. Selain kemudahan akses, digitalisasi melalui penyimpanan awan mungkin juga bisa menghemat sumber daya medis dan meningkatkan ketepatan perawatan bagi pasien, apalagi untuk pasien dengan pengobatan jangka waktu yang lama. MY MEDICAL JOURNEY sepertinya cocok namanya.

“Mba?”

“Eh iya Pa? Kenapa?”

“Mba ngga denger tadi Papa minta tolong apa?”

“Minta tolong apa Pa?”

“Itu tetangga minta tolong didaftarin kontrol rawat jalan, habis ngelamunin apa si Mba?”

“Pa, menurut Papa kalau pasien pulang setelah menjalani pengobatan, kesan yang paling diingat dari pelayanan pengobatannya apa ya?”

“Menurut Papa, pasien mulai dari datang sampai pulang itu bisa dijadikan tolok ukur kepuasan pelayanannya. Walaupun sudah memiliki jaminan kesehatan, tapi ada faktor lain juga yang berdampak pada kepuasan pasien. Pertama, akses dia ke pusat pelayanan kesehatan, apakah jauh dari rumah yang bersinggungan dengan keadaan finansial mereka. Lalu pendaftaran, pasien sudah datang dengan rasa sakit, kalau misalnya sulit mendaftar atau nunggu terlalu lama di tempat pendaftaran mungkin ngga nyaman. Lalu fasilitas dan sikap tenaga kesehatan juga pasti mendorong kepuasan pelayanan bagi mereka.”

Hari demi hari berlalu, rutinitasku melayani pasien sampai rasanya setengah hidupku ada di rumah sakit. Hiruk pikuk rumah sakit, melayani berbagai macam tipe pasien yang memiliki keunikannya masing-masing menjadi tantangan tersendiri bagi kami para tenaga kesehatan, apalagi di tengah pandemi Covid-19 saat ini. Namun sebaliknya, ada peluang untuk terus berbenah dalam melayani pasien agar pasien maupun kami selamat.

Menjaga jarak sudah digaungkan di sana-sini, agar penularan Covid-19 dapat dicegah dengan menjalankan protokol kesehatan yang ditetapkan. Ruang tunggu antrian pun kini diberi jarak, kontak pasien dibatasi bahkan sebagian pelayanan dialihkan dengan konsultasi online.

Saat bersiap-siap mau pulang, temanku mengajak ke minimarket dekat rumah sakit, katanya dia ingin beli biskuit cokelat. Aku mengiyakan ajakannya.

“Mba, bayar pakai kartu debit bisa kan ya?” tanya temanku ke kasir.

“Bisa Mba, pakai scan QR e-wallet juga bisa.”

“Mba kalau aku bayar pakai scan QR e-wallet ya.” pintaku.

Sejak pandemi kami lebih suka menggunakan pembayaran cashless sampai kami tak punya uang tunai sepeserpun. Dompet kami hanya berisi kartu ATM dan beberapa nota belanja.

“Mba tadi kunjungan pasien rajal rekor berapa hari ini?” tanyaku pada Mba Vina.

“Gopek” jawabnya ketus.

“Mba kalau pendaftaran online yang sekarang memang lebih praktis ya dari zaman dulu yang masih fotokopi ini itu. Tapi mungkin ngga ya kedepannya pendaftaran poli tinggal scan QR kayak aku bayar biskuit ini,”

“Setuju banget, pasien harusnya punya satu kartu sakti yang terintegrasi sistem palayanan kesehatan kita ya. Jadi kalau pendaftaran pasien tinggal scan berapa detik secara mandiri, langsung ke poli jadi aku ngga perlu verifikasi berkas atau cek data lagi. Ya mungkin kerjaanku nanti tinggal mengarahkan pasien yang butuh informasi atau ada kendala ya” nada bicara Mba Vina mendadak berubah menjadi cekikikan.

Saat keluar minimarket aku dan Mba Vina melihat sepasang lansia yang sedang menyeberang jalan dari arah rumah sakit, nampaknya mereka salah satu pasien dari rumah sakit kami. Isi kepala lansia tersebut mungkin berbeda dengan isi kepala kami yang masih muda. Bagi mereka menikmati masa tua dengan kondisi sehat menjadi anugerah yang patut disyukuri, namun apakah mereka mampu memanfaatkan kemajuan teknologi yang ada?

Pada akhirnya aku menyadari kemajuan teknologi memiliki kelebihan dan kekurangan. Di negara berkembang seperti Indonesia ini, kemajuan teknologi mungkin baru dapat dinikmati oleh sebagian penduduk, sebagiannya lagi masih terbata-bata. Namun kemajuan teknologi juga menjadi peluang bagi manusia untuk dapat menjalani kehidupan yang lebih baik dan serba mudah. Capaian sistem jaminan kesehatan nasional yang ada saat ini sudah merupakan pencapaian, sekaligus perjalanan panjang yang masih perlu dikembangkan.

0 komentar: